Oleh : Lintang Wetan
Musuh besar dalam jelajah perjalanan spiritual umat manusia adalah kemelekatan. Tanpa disadari hati manusia selalu melekat pada perkara-perkara fana dan artifisial, yang pada akhirnya melahirkan sikap-sikap negatif seperti ambisi, kebencian, nafsu, dan angkara. Kemelekatan tidak hanya merujuk pada materialisme saja, tetapi juga sakralisasi terhadap segala sesuatu yang membuat kita kehilangan kebebasan kesadaran. Kesadaran akan memposisikan manusia sebagai makhluk yang mampu memandang hidup secara utuh dan objektif, tanpa kemelekatan pada apapun juga.
Pengejaran kesadaran sebenarnya sudah sejak dari mulanya telah ada dalam konsep filsafat Islam. Konsep itu tidak lain adalah konsep yang paling fundamental, yaitu konsep TAUHID atau Ketuhanan Yang Maha Esa, yang diturunkan dari kalimat: La Ilaha Illallah (Tiada Tuhan selain Allah).
Menurut DR. Nurcholis Madjid (dalam Buku ”Api Islam” karya Ahmad Gaus), konsep tauhid bermakna pemutlakan transenden semata-mata kepada Tuhan. Dengan demikian umat Islam yang memahami tauhid selayaknya melakukan desakralisasi pada segala aspek yang ”selain Tuhan”. Umat harus berhenti menyucikan segala sesuatu yang memang pada hakikatnya tidak suci. Pada masa lampau wilayah suci hanya terbatas pada hal-hal fisik, tetapi pada jaman modern justru terjadi penurunan kualitas, dimana wilayah suci meluas dalam wujud ”politik-kekuasaan”. Ide tentang partai dan negara Islam serta segala konsekuensi penyertanya pada hakikatnya adalah wujud sakralisasi yang bertentangan dengan konsep tauhid itu sendiri.
Dalam tataran dogmatika, sakralisasi dalam tubuh Islam terjadi lebih parah daripada agama atau kepercayaan lainnya. Di jaman modern ini, dimana seharusnya manusia terus bergerak pada aspek-aspek ”nilai”, umat Islam justru banyak terperangkap ”status quo” pada akidah-akidah yang sudah tidak relevan dalam konteks kekinian.
Tanpa disadari sebenarnya sikap sakralisasi akidah dan segala atribut keagamaan sesungguhnya bertentangan dengan ketauhidan itu sendiri. Seharusnya umat dibimbing naik dari wilayah akidah kepada wilayah nilai atau hakikat. Sebaliknya bentuk sakralisasi akidah justru akan membutakan umat pada hakikat nilai yang sejati. Berbagai masalah, konflik dan perpecahan terjadi akibat perbedaan tafsir atas sakralisasi akidah. Belum lagi kelompok-kelompok radikal (Islam garis keras) yang bahkan sudah mencopot nilai-nilai agama dari kerangka nilai kemanusiaan dan melahirkan agamawan-agamawan bengis yang rela melakukan hal-hal amoral demi tegaknya akidah.
Oleh karena itu pembaharuan konsep tauhid dalam teologi Islam adalah kebutuhan mutlak dewasa ini. Segala bentuk sakralisasi dogmatika dan atribut agama harus segera dihentikan. Umat harus dibimbing pada nilai-nilai Islami yang universal, nilai-nilai yang rahmatan ’lil alamin, yang mampu mendatangkan kedamaian dan manfaat bagi segala makhluk di muka bumi. Betapa besar peran para ulama untuk mengajari umat memahami akidah secara kontekstual, penafsiran Al-Qur’an dan Hadist yang relevan dengan konteks kekinian. Inilah langkah awal yang baik menuju pada kesadaran Tauhid, La Ilaha Illallah (Tiada Tuhan selain Allah).
Pengejaran kesadaran sebenarnya sudah sejak dari mulanya telah ada dalam konsep filsafat Islam. Konsep itu tidak lain adalah konsep yang paling fundamental, yaitu konsep TAUHID atau Ketuhanan Yang Maha Esa, yang diturunkan dari kalimat: La Ilaha Illallah (Tiada Tuhan selain Allah).
Menurut DR. Nurcholis Madjid (dalam Buku ”Api Islam” karya Ahmad Gaus), konsep tauhid bermakna pemutlakan transenden semata-mata kepada Tuhan. Dengan demikian umat Islam yang memahami tauhid selayaknya melakukan desakralisasi pada segala aspek yang ”selain Tuhan”. Umat harus berhenti menyucikan segala sesuatu yang memang pada hakikatnya tidak suci. Pada masa lampau wilayah suci hanya terbatas pada hal-hal fisik, tetapi pada jaman modern justru terjadi penurunan kualitas, dimana wilayah suci meluas dalam wujud ”politik-kekuasaan”. Ide tentang partai dan negara Islam serta segala konsekuensi penyertanya pada hakikatnya adalah wujud sakralisasi yang bertentangan dengan konsep tauhid itu sendiri.
Dalam tataran dogmatika, sakralisasi dalam tubuh Islam terjadi lebih parah daripada agama atau kepercayaan lainnya. Di jaman modern ini, dimana seharusnya manusia terus bergerak pada aspek-aspek ”nilai”, umat Islam justru banyak terperangkap ”status quo” pada akidah-akidah yang sudah tidak relevan dalam konteks kekinian.
Tanpa disadari sebenarnya sikap sakralisasi akidah dan segala atribut keagamaan sesungguhnya bertentangan dengan ketauhidan itu sendiri. Seharusnya umat dibimbing naik dari wilayah akidah kepada wilayah nilai atau hakikat. Sebaliknya bentuk sakralisasi akidah justru akan membutakan umat pada hakikat nilai yang sejati. Berbagai masalah, konflik dan perpecahan terjadi akibat perbedaan tafsir atas sakralisasi akidah. Belum lagi kelompok-kelompok radikal (Islam garis keras) yang bahkan sudah mencopot nilai-nilai agama dari kerangka nilai kemanusiaan dan melahirkan agamawan-agamawan bengis yang rela melakukan hal-hal amoral demi tegaknya akidah.
Oleh karena itu pembaharuan konsep tauhid dalam teologi Islam adalah kebutuhan mutlak dewasa ini. Segala bentuk sakralisasi dogmatika dan atribut agama harus segera dihentikan. Umat harus dibimbing pada nilai-nilai Islami yang universal, nilai-nilai yang rahmatan ’lil alamin, yang mampu mendatangkan kedamaian dan manfaat bagi segala makhluk di muka bumi. Betapa besar peran para ulama untuk mengajari umat memahami akidah secara kontekstual, penafsiran Al-Qur’an dan Hadist yang relevan dengan konteks kekinian. Inilah langkah awal yang baik menuju pada kesadaran Tauhid, La Ilaha Illallah (Tiada Tuhan selain Allah).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar