Oleh : Lintang Wetan
Konsep tentang "manusia sempurna" atau bisa juga ditautkan dengan
istilah-istilah: Insan Kamil, Buddha, Moksa, dan sebagainya, sebenarnya
adalah konsep yang hanya ada di awang-awang. Maksud saya adalah
interpretasi konsep tersebut sebagaimana dimaknai mindset umum yang
menggambarkan manusia sempurna sebagai sempurna tanpa dosa dan
kesalahan.
Coba kita renungkan, apakah ada sih orang yang
benar-benar sempurna, orang yang benar-benar bebas dari dosa dan
kesalahan. Orang Islam mengklaim sosok Nabi Muhammad, orang Kristen
mengklaim sosok Yesus, orang Hindu mengklaim sosok Krisna, dan orang
Buddha mengklaim sosok Gautama, dan mungkin ada klaim lain-lain lagi
bahwa ada sosok yang mampu mencapai kesempurnaan, tanpa salah atau dosa.
Benarkah mereka sempurna? Sudah pernah membuktikan sendiri?
Sudah pernah melihat dengan mata kepala sendiri? Sudah pernah hidup
bersama dengan mereka? Tidak kan?!! Selama ini kita hanya sekedar tahu
dari katanya dan katanya. Tolok ukur kesempurnaan pun sangat relatif.
Jadi sebenarnya konsep manusia sempurna hanya konsep idea belaka yang
lahir dari evolusi waktu dan budaya. Semacam kultus individu atau
hiperbola persona. Hal ini lumrah sebagai sarana pemenuhan kebutuhan
rohani publik. Masyarakat memang selalu butuh simbol-simbol dan
personifikasi nilai-nilai mutlak.
Ah, andai saja saya hidup
sejaman dengan sosok-sosok yang diklaim tadi, maka saya akan menguji
mereka. Bagaimana si manusia sempurna ini akan bertindak manakala mereka
dihadapkan pada sebuah kondisi ibunya dan istrinya tenggelam di lautan,
manakala ia harus menolong yang satu dan merelakan yang lainnya mati.
Siapakah yang akan dipilih oleh si manusia sempurna ini? Ibu atau istri
tercinta? Saya rasa siapapun yang dipihnya, maka orang tersebut tetap
akan didera kesalahan. Setidaknya akan ada saja orang lain yang
menganggap dia benar dan ada pula yang menganggap dia salah. Berarti
pada saat itu juga kesempurnaannya telah gugur.
Mungkin ada
kalangan yang menafsirkan konsep manusia sempurna secara lahiriah yang
berarti mampu melakukan segalanya. Kembali ke ilustrasi di atas, si
manusia sempurna akan mendapat kekuatan supranatural dari Tuhan untuk
mampu menolong baik ibu maupun istrinya. Selalu mendapat jalan-jalan
kemudahan dan mujizat. Inipun konsep di awang-awang, tidak berjejak pada
realitas. Sebab realitas hidup di dunia tidaklah demikian.
Saya tidak menolak adanya mujizat, tapi realitanya doa-doa kita tidak
selalu terkabul, mujizat tidak selalu kita alami. Sebaliknya masalah
selalu ada tiap hari dan kegagalan adalah hal-hal yang lumrah. Sempurna
dan tidak sempurna hanya sebatas persepsi manusia. Sempurna adalah nilai
mutlak yang selalu dipersepsikan secara relatif. Konsep manusia
sempurna hanya ada di awang-awang. Tidak realistis dan tidak aplikatif.
Konsep manusia sempurna sebenarnya adalah konsep pemutlakan yang akan
selalu kita kejar, seolah takkan pernah tercapai kecuali sampai ajal
menjemput. Dengan demikian untuk mencapai kesempurnaan adalah dengan
jalan kematian, sebab hanya dengan mati, maka manusia berhenti hidup dan
berhenti mendaki. Lalu apabila kita tahu bahwa sesuatu itu tidak
mungkin kita raih, buat apa kita berupaya meraihnya? Bukankah lebih baik
kita selagi hidup berbuat semau-maunya dengan mengabaikan nilai-nilai
kebenaran?
Tidak. Tidaklah demikian adanya. Konsep pemutlakan
akan selalu membuat kita terjebak dalam pendakian spiritual tak
berujung. Konsep pemutlakan itulah yang selama ini menteror spirtualitas
manusia. Pemutlakan hanyalah jebakan pikiran yang tidak riil. Konsep
pemutlakan inilah yang harus ditinggalkan dalam proses memahami
spiritualitas.
Sebaliknya manusia harus kembali pada kesadaran
untuk menjadi manusia yang natural, manusia yang seutuh-utuhnya. Manusia
adalah manusia dengan segala potensi dan keterbatasan, dengan kelebihan
dan juga kekurangan, dengan budi pekerti sekaligus nafsu angkara murka.
Manusia adalah perpaduan antara kebaikan dan kejahatan, Tuhan dan
iblis, cinta dan nafsu, maskulin dan feminin serta berbagai nilai-nilai
dualisme mutlak. Menjadi manusia sempurna bukanlah berarti memusnahkan
semua hal-hal buruk dalam diri kita. Hal itu tidak akan bisa, sebab apa
yang buruk akan selalu ada. Keburukan itu abadi seabadi kebaikan itu
sendiri.
Keseimbangan atau harmoni. Itulah kata kunci dalam
proses memahami spiritualitas. Kalaupun saya harus menggunakan lagi
istilah manusia sempurna, maka saya akan mendefinisikannya sebagai
manusia yang memiliki kesadaran seutuh-utuhnya sebagai manusia.
Kesadaran bahwa manusia adalah gabungan antara kebaikan dan keburukan.
Dan dengan kesadaran itulah, maka manusia tahu, mana potensi-potensi
luhur yang perlu dibangkitkan dalam dirinya.
Ketika hal-hal
baik terus dibangkitkan, maka dengan sendirinya hal-hal yang buruk akan
terus tereduksi, tertidur dan tidak lagi muncul. Tidak ada manusia yang
sungguh-sunguh sempurna, tidak ada manusia yang kebal dari goda dan
dosa. Kita hanya perlu lebih dan lebih lagi untuk sadar, kapan harus
berhenti, kapan harus melangkah lagi. Hidup adalah sebuah proses
spiritual, bukan proses untuk menjadi mutlak, melainkan proses untuk
memahami ketidakmutlakan dan memainkan ketidakmutlakan itu agar
bermanfaat bagi peradaban.
Dewasa ini bermunculan film-film
layar lebar yang membangkitkan lagi ikon-ikon superhero lawas. Bedanya,
cerita superhero dewasa ini lebih banyak mengungkapkan sisi-sisi
manusiawi dari sang pahlawan super. Bagaimana pergumulan batin, cinta
dan cemburu, kegagalan dan penyesalan yang mewarnai kehidupannya. Inilah
yang membuat cerita superhero menjadi menarik, menjadi lebih realistis,
lebih menyentuh kehidupan nyata. Dan pesan yang ingin disampaikan
adalah: tidak ada manusia yang benar-benar sempurna, semakin banyak
kelebihan seseorang, maka semakin banyak pula kekurangan yang
dimiliknya. Hal itu pula yang tergambar dalam lirik lagu ”Superman”
(It’s not Easy) yang dibawakan oleh ”Five for Fighting”. Nikmati dan
renungkanlah!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar