Cari Blog Ini

Selasa, 15 Mei 2018

Oleh: Gunadi Widjaja (Pakar Fengshui)


Apakah yang dimaksud dengan "Yin" dan "Yang"? Secara leksikal "Yin" berarti Negatif atau Feminin, sedangkan "Yang" berarti Positif atau Maskulin. Konsep Yin dan Yang merupakan pengembangan lebih lanjut dari Tai Ji yang menggambarkan suatu keadaan seimbang.Pasangan-pasangan yang digunakan untuk menyatakan keseimbangan (yin - yang) antara lain adalah wanita - pria, hitam - putih, kematian - kehidu...pan, musim dingin - musim panas, dingin - panas, utara - selatan, malam - siang, bulan - matahari, diam - gerak, bawah - atas, ke dalam - ke luar, ke bawah - ke atas, air - api, lembut - tegar, belakang - depan, pasif - aktif, kesedihan - kegembiraan, biru - merah, bumi - langit, dll.Istilah Yin dan Yang jangan dikonotasikan dengan kejahatan dan kebaikan.Yin semata-mata digunakan untuk menyatakan sebuah keadaan bersifat feminin, TIDAK untuk menyatakan keadaan yang jelek. Yin Qi (Energi Feminin) berbeda dengan Sha Qi (Energi Kematian), demikian juga Yang Qi (Energi Maskulin) berbeda dengan Sheng Qi (Energi Kehidupan).Lihat Selengkapnya


Yin dan Yang merupakan salah satu konsep dasar dalam Feng Shui yaitu konsep keseimbangan. Jika energi Yin dan Yang dalam sebuah rumah berada dalam keadaan yang tidak seimbang maka akan terjadi ketidakstabilan emosi dan kelelahan fisik. Bayangkanlah jika seseorang menghabiskan waktunya di ruangan yang gelap atau orang yang tinggal di rumah kaca yang selalu mendapat penyinaran. Karena Feng Shui mengacu pada konsep keseimbangan, maka jika sebuah ruangan terlalu gelap berilah penerangan, sebaliknya jika sebuah ruangan terlalu terang berilah pelindung cahaya. Keseimbangan yang terjadi akan membuat penghuni memiliki kestabilan emosi dan kesegaran mental.

Minggu, 08 Desember 2013

Keyakinan di Antara Vetty Vera, Absolutisme, dan Simbol



Sayup-sayup dari warung pojok dekat rumah saya terdengar suara radio yang melantunkan lagunya Vetty Vera “Sedang-Sedang Saja”. Sejenak saya perhatikan liriknya dan saya menemukan sebersit hikmah di dalamnya. Hikmah bahwa dalam hidup ini jangan memandang, menilai maupun mempercayai segala sesuatu dengan terlalu atau berlebihan. Santai saja, yang sedang-sedang saja, don’t be so serious! Kalau kata sesepuh Jawa: ojo kagetan, ojo gumunan!

Secara naturnya manusia memang makhluk emosi, hal itu yang seringkali membuatnya bias dalam menilai sesuatu. Emosi membuat manusia sering terjebak dalam perasaan like and dislike. Ketika seorang gadis jatuh cinta pada seorang pria pujaan hatinya, biasanya ia kehilangan kemampuan untuk menilai pria tersebut dengan logis. Seolah-olah sang pria itu adalah pangeran tampan yang bakal membahagiakan hidupnya. Si gadis mulai klepek-klepek ketika diberi rayuan gombal. Maka semua-semua diberikan, bahkan mungkin kesuciannya sekalipun. Lalu waktu berlalu dan si gadis pun menyadari dalam penyesalannya ketika ia ditinggalkan begitu saja dengan segala gombal yang habis manis lalu dibuang sepahnya.

Tanpa disadari kita pun sering terjebak dalam fenomena bias dari emosi ini, terutama ketika menyangkut aspek keyakinan (belief). Suatu keyakinan atau agama sebenarnya bertujuan untuk mengarahkan manusia pada norma-norma kehidupan dengan harapan bahwa manusia tersebut dapat meraih kebahagiaan sejati dalam hidupnya. Suatu keyakinan atau agama memuat nilai-nilai yang ideal. Maka di sanalah kita akan menemukan kisah tokoh-tokoh yang absolut, yang sempurna, yang suci, yang paling mulia dan sebutan jargon-jargon sejenisnya.

Agama Kristen meyakini Yesus adalah manusia yang tak bercacat cela, karena itu Ia layak dianggap sebagai Tuhan (The Lord) dan sang juru selamat. Agama Islam meyakini Nabi Muhammad sebagai insan kamil, uswatun hasanah, suri tauladan yang sempurna, nabi yang paling mulia. Agama Hindu Waisana meyakini Sri Khrisna sebagai avatara Wisnu, manusia yang sempurna dan kebenaran yang mutlak. Agama Buddha meyakini Gautama adalah Sang Buddha, sang penemu kebenaran dan yang mencapai penerangan sempurna. Disamping itu ada pula keyakinan-keyakinan atau sektarian dengan jargon tokoh-tokohnya sendiri yang diklaim sebagai sosok yang absolut.

Sekarang mari kita renungkan, apa benar klaim-klaim absolutisme itu? Dalam pendapat saya pribadi, saya tidak akan menggunakan istilah benar atau tidak benar. Tetapi menurut saya klaim-klaim absolutisme dalam keyakinan atau agama manapun tidak pernah dapat dibuktikan secara riil. Semua itu hanya kisah yang ada di awang-awang, tidak realistis, bahkan tidak logis. Semua tokoh-tokoh itu hanya dipinjam sebagai simbol bagi nilai-nilai ideal dari suatu keyakinan. Kenyataannya dalam alam nyata tidak pernah ada sosok yang absolut atau yang benar-benar sempurna.

Bagaimanapun tidak semua hal memang harus logis, karena sains yang paling modern sekalipun masih menyisakan gap misteri. Pada gap-gap itulah manusia perlu menyematkan sosok-sosok absolut untuk membantu menjelaskan apa yang misterius dan yang tak terukur. Kita hanya perlu menyadari bahwa sosok-sosok absolut itu hanyalah imajiner, hanya simbol saja dari hakikat yang ingin dicapai. Mereka hanyalah inspirasi untuk menggugah jiwa kita agar bangkit mengejar dan meraih kesejatian hidup.

Selama kita masih manusia yang bernafas di dunia ini, kita perlu simbol-simbol untuk dapat menyampaikan atau memahami sesuatu yang esensial. Simbol bisa berupa apa saja, termasuk kosakata bahasa yang kita gunakan untuk menyampaikan suatu maksud. Misalnya juga dalam bidang matematika, kita perlu simbol rumusan untuk membuat suatu perhitungan luas atau volume. Tanpa simbol-simbol itu, sulit dibayangkan bagaimana caranya membuat suatu perhitungan. Namun simbol tetaplah simbol, ia bukanlah tujuan itu sendiri, jadi janganlah kita terjebak pada absolutisme simbol itu. Saya bisa memberikan anda partitur lagu dengan simbol not angka atau not balok, tapi yang penting bukanlah simbol notnya, yang penting anda dapat menyanyikan lagu dengan nada yang benar. Kalau anda sudah hafal nada-nada lagunya, anda tidak perlu lagi melihat partitur. Paham?

Dulu saya menghabiskan banyak waktu berlelah-lelah mempelajari doktrin suatu agama, saya menyibukkan diri mencari pembuktian bahwa kisah dalam kitab suci saya itu benar dan riil, saya berdebat dengan orang-orang yang menyerang agama saya dan pada akhirnya saya menganggap diri saya layak masuk surga dengan segala pahalanya. Tapi kenyataannya hidup saya tidak diliputi kedamaian, karena fokus saya ternyata hanya pada simbolnya, bukan pada hakikat yang ada di balik simbol itu. Jadi masa bodoh dengan semua teologi A I U E O, yang penting saya tangkap hakikatnya dan hidup saya menjadi jauh lebih tenang. Jangan terlalu serius masbro, lebih kita nyanyi dan joget bareng: “Hidup ini jangan serba terlalu yang sedang-sedang saja. Karena semua yang serba terlalu bikin sakit kepala”.

Kamis, 14 Juni 2012

AGAMA EKSOTERIS DAN ESOTERIS


Oleh: Lintang Wetan




Dalam ilmu statistik, angka-angka "berbicara" sesuatu. Artinya tidak semua hal harus dipandang secara kualitatif melulu, tapi kuantitatif juga penting. Nah sekarang mari kita lihat secara statistik, jumlah penganut agama di dunia ini. Menurut sumber wikipedia, sebagai berikut:

Kekristenan 2,1 miliar 
Islam 1,3 miliar

Non-Adherent (Sekular/Ateis /Agnostik) 1,1 miliar
Hinduisme 900 juta
Agama keluarga Cina 394 juta
Buddhisme 376 juta
Paganisme 300 juta
Tradisi Afrika dan diasporik (tanah air) 100 juta
Sikhisme 23 juta
Juche 19 juta
Spiritisme 15 juta
Yudaisme14 juta
Iman Bahai 7 juta
Saksi-Saksi Yehuwa 6,5 juta
Jainisme 4,2 juta
Shinto 4 juta
Cao Dai 4 juta
Zoroastrianisme 2,6 juta
Tenrikyo 2 juta
Neo-Paganisme 1 juta
Unitarian Universalisme 800 ribu
Gerakan Rastafari 600 ribu


Dari statistik agama di atas menarik untuk dicermati bahwa Kristen dan Islam berada di jajaran tertinggi paling banyak kuantitas penganutnya. Artinya bahwa dua agama ini paling diminati di dunia, tentu saja bila kita mengabaikan kebijakan "pemaksaan agama" oleh pemerintah negara agama. Tapi setidaknya bila kita tilik dari sejak sekitar 1500 - 2000 tahun perkembangan agama ini, maka terbukti bahwa agama ini sukses menjadi pilihan sistem spiritualitas masyarakat. 


Saya tidak sedang mengatakan bahwa secara substansial ajaran Kristen dan Islam lebih unggul daripada ajaran agama lain. Tetapi keunggulan kedua agama ini adalah pada sisi eksoteris-nya. Eksoteris maksudnya bahwa agama ini adalah agama yang terbuka, pragmatis, sederhana, gamblang, mudah dipahami dan mudah dijalani oleh para penganutnya, lebih-lebih kaum awam. Ibarat musik, maka Kristen dan Islam adalah jenis musik pop atau dangdut, peminatnya bisa siapa saja dan dimana saja. 


Berbeda dengan agama-agama non abrahamik yang penuh pemahaman mistik, untuk mendalaminya perlu perenungan dan kontemplasi. Tidak ada pakem-pakem kaku, dogma-dogma kaku, agama dijalani dengan hati nurani dan budi pekerti. Tidak semua orang mampu bertahan dalam perenungan spiritual. Kebanyakan orang awam butuh pakem yang praktis dan sederhana. Larangan jelas dan perintah juga jelas. Hukuman jelas dan imbalan pun juga jelas. 


Namun kelemahan agama-agama eksoteris adalah ia rawan dimanipulasi untuk kepentingan politik dan kekuasaan. Ketika agama eksoteris mulai dilembagakan, maka otoritas Tuhan mulai terbagi ke dalam otoritas lembaga agama. Dan ketika lembaga agama mulai berbicara, ini halal dan itu haram, maka lembaga agama mulai berfungsi sebagai perpanjangan kekuasaan Tuhan. Lebih-lebih karena tafsir atas pewahyuan Tuhan adalah nisbi, walaupun wahyu itu sendiri adalah mutlak. Sebab tafsir wahyu bukanlah domain Tuhan, tapi domainnya para pemimpin agama yang notabene adalah manusia yang masih punya nafsu dan punya kehendak. 


Kendatipun dalam agama-agama eksoteris seperti Kristen dan Islam juga terdapat wilayah-wilayah esoteris, yaitu wilayah pemahaman kefilsafatan dan mistikal, tetapi tentu wilayah ini tidak populer. Para agamawan Kristen dan Islam yang mendalami ranah mistikal tidak terlalu menarik bagi kaum awam, sama halnya dengan agama-agama non abrahamik yang dari waktu ke waktu mulai ditinggalkan penganutnya. 


Pada akhirnya kita semua memang perlu bercermin, melihat kelebihan dan kekurangan masing-masing. Hidup dalam ajaran yang terlalu eksoteris tentu tidak baik, sebab hakikat keagamaan menjadi kering, tetapi hidup dalam pemahaman yang terlalu esoteris juga tidak baik, sebab tidak aplikatif, sulit dipahami khalayak awam.

Rabu, 23 Mei 2012

MANUSIA SEMPURNA

Oleh : Lintang Wetan
Konsep tentang "manusia sempurna" atau bisa juga ditautkan dengan istilah-istilah: Insan Kamil, Buddha, Moksa, dan sebagainya, sebenarnya adalah konsep yang hanya ada di awang-awang. Maksud saya adalah interpretasi konsep tersebut sebagaimana dimaknai mindset umum yang menggambarkan manusia sempurna sebagai sempurna tanpa dosa dan kesalahan. 

Coba kita renungkan, apakah ada sih orang yang benar-benar sempurna, orang yang benar-benar bebas dari dosa dan kesalahan. Orang Islam mengklaim sosok Nabi Muhammad, orang Kristen mengklaim sosok Yesus, orang Hindu mengklaim sosok Krisna, dan orang Buddha mengklaim sosok Gautama, dan mungkin ada klaim lain-lain lagi bahwa ada sosok yang mampu mencapai kesempurnaan, tanpa salah atau dosa. 

Benarkah mereka sempurna? Sudah pernah membuktikan sendiri? Sudah pernah melihat dengan mata kepala sendiri? Sudah pernah hidup bersama dengan mereka? Tidak kan?!! Selama ini kita hanya sekedar tahu dari katanya dan katanya. Tolok ukur kesempurnaan pun sangat relatif. Jadi sebenarnya konsep manusia sempurna hanya konsep idea belaka yang lahir dari evolusi waktu dan budaya. Semacam kultus individu atau hiperbola persona. Hal ini lumrah sebagai sarana pemenuhan kebutuhan rohani publik. Masyarakat memang selalu butuh simbol-simbol dan personifikasi nilai-nilai mutlak.

Ah, andai saja saya hidup sejaman dengan sosok-sosok yang diklaim tadi, maka saya akan menguji mereka. Bagaimana si manusia sempurna ini akan bertindak manakala mereka dihadapkan pada sebuah kondisi ibunya dan istrinya tenggelam di lautan, manakala ia harus menolong yang satu dan merelakan yang lainnya mati. Siapakah yang akan dipilih oleh si manusia sempurna ini? Ibu atau istri tercinta? Saya rasa siapapun yang dipihnya, maka orang tersebut tetap akan didera kesalahan. Setidaknya akan ada saja orang lain yang menganggap dia benar dan ada pula yang menganggap dia salah. Berarti pada saat itu juga kesempurnaannya telah gugur. 

Mungkin ada kalangan yang menafsirkan konsep manusia sempurna secara lahiriah yang berarti mampu melakukan segalanya. Kembali ke ilustrasi di atas, si manusia sempurna akan mendapat kekuatan supranatural dari Tuhan untuk mampu menolong baik ibu maupun istrinya. Selalu mendapat jalan-jalan kemudahan dan mujizat. Inipun konsep di awang-awang, tidak berjejak pada realitas. Sebab realitas hidup di dunia tidaklah demikian.

Saya tidak menolak adanya mujizat, tapi realitanya doa-doa kita tidak selalu terkabul, mujizat tidak selalu kita alami. Sebaliknya masalah selalu ada tiap hari dan kegagalan adalah hal-hal yang lumrah. Sempurna dan tidak sempurna hanya sebatas persepsi manusia. Sempurna adalah nilai mutlak yang selalu dipersepsikan secara relatif. Konsep manusia sempurna hanya ada di awang-awang. Tidak realistis dan tidak aplikatif. 

Konsep manusia sempurna sebenarnya adalah konsep pemutlakan yang akan selalu kita kejar, seolah takkan pernah tercapai kecuali sampai ajal menjemput. Dengan demikian untuk mencapai kesempurnaan adalah dengan jalan kematian, sebab hanya dengan mati, maka manusia berhenti hidup dan berhenti mendaki. Lalu apabila kita tahu bahwa sesuatu itu tidak mungkin kita raih, buat apa kita berupaya meraihnya? Bukankah lebih baik kita selagi hidup berbuat semau-maunya dengan mengabaikan nilai-nilai kebenaran?

Tidak. Tidaklah demikian adanya. Konsep pemutlakan akan selalu membuat kita terjebak dalam pendakian spiritual tak berujung. Konsep pemutlakan itulah yang selama ini menteror spirtualitas manusia. Pemutlakan hanyalah jebakan pikiran yang tidak riil. Konsep pemutlakan inilah yang harus ditinggalkan dalam proses memahami spiritualitas.

Sebaliknya manusia harus kembali pada kesadaran untuk menjadi manusia yang natural, manusia yang seutuh-utuhnya. Manusia adalah manusia dengan segala potensi dan keterbatasan, dengan kelebihan dan juga kekurangan, dengan budi pekerti sekaligus nafsu angkara murka. Manusia adalah perpaduan antara kebaikan dan kejahatan, Tuhan dan iblis, cinta dan nafsu, maskulin dan feminin serta berbagai nilai-nilai dualisme mutlak. Menjadi manusia sempurna bukanlah berarti memusnahkan semua hal-hal buruk dalam diri kita. Hal itu tidak akan bisa, sebab apa yang buruk akan selalu ada. Keburukan itu abadi seabadi kebaikan itu sendiri.

Keseimbangan atau harmoni. Itulah kata kunci dalam proses memahami spiritualitas. Kalaupun saya harus menggunakan lagi istilah manusia sempurna, maka saya akan mendefinisikannya sebagai manusia yang memiliki kesadaran seutuh-utuhnya sebagai manusia. Kesadaran bahwa manusia adalah gabungan antara kebaikan dan keburukan. Dan dengan kesadaran itulah, maka manusia tahu, mana potensi-potensi luhur yang perlu dibangkitkan dalam dirinya. 

Ketika hal-hal baik terus dibangkitkan, maka dengan sendirinya hal-hal yang buruk akan terus tereduksi, tertidur dan tidak lagi muncul. Tidak ada manusia yang sungguh-sunguh sempurna, tidak ada manusia yang kebal dari goda dan dosa. Kita hanya perlu lebih dan lebih lagi untuk sadar, kapan harus berhenti, kapan harus melangkah lagi. Hidup adalah sebuah proses spiritual, bukan proses untuk menjadi mutlak, melainkan proses untuk memahami ketidakmutlakan dan memainkan ketidakmutlakan itu agar bermanfaat bagi peradaban.

Dewasa ini bermunculan film-film layar lebar yang membangkitkan lagi ikon-ikon superhero lawas. Bedanya, cerita superhero dewasa ini lebih banyak mengungkapkan sisi-sisi manusiawi dari sang pahlawan super. Bagaimana pergumulan batin, cinta dan cemburu, kegagalan dan penyesalan yang mewarnai kehidupannya. Inilah yang membuat cerita superhero menjadi menarik, menjadi lebih realistis, lebih menyentuh kehidupan nyata. Dan pesan yang ingin disampaikan adalah: tidak ada manusia yang benar-benar sempurna, semakin banyak kelebihan seseorang, maka semakin banyak pula kekurangan yang dimiliknya. Hal itu pula yang tergambar dalam lirik lagu ”Superman” (It’s not Easy) yang dibawakan oleh ”Five for Fighting”. Nikmati dan renungkanlah!
I can't stand to fly
I'm not that naive
I'm just out to find
The better part of me

I'm more than a bird, I'm more than a plane
I'm more than some pretty face beside a train
And it's not easy to be me

Wish that I could cry
Fall upon my knees
Find a way to lie
About a home I'll never see

It may sound absurd, but don't be naive
Even heroes have the right to bleed
I may be disturbed, but won't you concede
Even heroes have the right to dream
It's not easy to be me

Up, up and away, away from me
It's all right, you can all sleep sound tonight
I'm not crazy, or anything

I can't stand to fly
I'm not that naive
Men weren't meant to ride
With clouds between their knees

I'm only a man in a silly red sheet
Digging for kryptonite on this one way street
Only a man in a funny red sheet
Looking for special things inside of me
Inside of me
Inside me
Yeah, inside me
Inside of me

I'm only a man
In a funny red sheet
I'm only a man
Looking for a dream

I'm only a man
In a funny red sheet
And it's not easy

Its not easy to be me

http://www.youtube.com/watch?v=GRz4FY0ZcwI&feature=BFa&list=AL94UKMTqg-9BZtQ7lYVyTREoWcVWkZZ7C

Rabu, 25 April 2012

30 Ayat Dewobroto

Oleh: Lintang Wetan



Hermawan Dewobroto (In Memorian)


Sebagai penghormatan terakhir pada sahabat sekaligus sosok senior, Bapak Hermawan Dewobroto, maka berikut ini saya kumpulkan petikan-petikan pemikiran beliau. Sang ksatria sejati sesungguhnya memang tak pernah pergi, sebab jiwanya akan selalu hidup meretas dalam sanubari semesta. Semoga tulisan ini memberi pencerahan bagi kita sekalian.


  1. Cinta adalah salah satu yang membuat hidup ini berarti, tanpa cinta hidup hampa.
  2. Kematian adalah sebuah proses, yang bahkan dimulai sejak kelahiran.
  3. Kabeh kui mung wang sinawang wae; segala hal tak selamanya seperti yang terlihat.
  4. Tak ada yang perlu dimusnahkan dalam diri, tapi dimengerti. Milkilah semangat untuk mengembangkan diri dan menyempurnakannya.
  5. Batin yang bebas adalah batin yang bebas dari ilusi tentang diri; bahkan diri fisikpun lebur dalam batin melampaui dualitas dan pemahaman.
  6. Dalam gerak ada diam dalam diam ada gerak. Ketika kita bergerak adalah untuk mencari ketenangan/diam, ketika kita diam bisa kita rasakan potensi untuk bergerak. Dalam hitam ada putihnya dalam putih ada hitamnya serta seperti saling berkejaran abadi. Banyak ilmu tercipta dari filosofi ini.
  7. Bahagia dan derita adalah bagaimana menyikapi suatu perbuatan dan keadaan serta menyikapi diri sendiri. Melampaui dualitas bahagia derita adalah pencapaian sesungguhnya, dimana memandang kebahagiaan bukan sebagai kebahagiaan juga memandang penderitaan bukan sebagai penderitaan.
  8. Fikiran dan logika hanya membuat batas, maka dalam tahap tertentu kita harus bisa melampaui logika dan pemahaman untuk mencapainya. Dalam hidup ada yang harus dilalui dan ada yang harus dijalani. Bagaimana menjalaninya? dengan melaluinya, bagaimana melaluinya? dengan menjalaninya.
  9. Kepercayaan ataupun keyakinan menunjukkan adanya jarak dengan realita atau fakta yang diyakini atau dipercaya, bahkan sangat dimungkinkan yang diyakini atau dipercaya tersebut cuma khayalan ataupun prasangka fikiran semata. Kalau kita sudah berhadapan langsung dengan fakta ataupun realitas sesuatu, kita sudah ngak butuh keyakinan dan kepercayaan apapun untuk itu.
  10. Realitas yang kita hadapi adalah keseharian kita, belum tentu realitas dari keyakinan kita. Keyakinan dan kepercayaan ada dalam fikiran dan prasangkanya bukan dalam realita. Orang dapat tertipu karena apa yang dipercaya dan diyakini berbeda dengan faktanya/ realitasnya.
  11. Kepercayaan adalah suatu prasangka/persangkaan terhadap suatu realitas, bukan realitas itu sendiri. Akal/ fikiran adalah alat atau bagian dari persangkaan itu sendiri. Tuhan adalah realitas yang dipersangkakan, yang mungkin ada dan mungkin juga tidak.
  12. Prasangka tentang tuhan juga berhala. Nggak ada yang pernah membuktikan realitas tuhan, semuanya sebatas prasangka dan khayalan saja. Berarti semuanya menyembah berhala termasuk yang berupa konsep dan prasangka tersebut.
  13. Tuhan itu ada, adanya dalam khayalan dan prasangka fikiran mereka yang terpedaya; cuma di situ. Tidak pernah terbukti dalam realitas.
  14. Keyakinan dan kepercayaan terhadap sesuatu itu cuma gambaran dari realitas, bukan realitasnya. Iya kalau yang memberi gambaran tersebut benar2 mencapai realitas tersebut, kalau cuma kira2 dan sok pintar atau ada maksud menipu, maka celaka berjamaah namanya.
  15. Meyakini sesuatu dari katanya dan dari dongeng, kemungkinan tertipunya sangat2 besar, apalagi dongeng ribuan tahun yang lalu yang tak ada buktinya sampai saat ini. Apalagi dibarengi mutlakisasi serta antikritik, suatu modus penipuan dan perbudakan pola fikir dan kesadaran yang dapat menghancurkan bangsa bergenerasi2.
  16. Kebenaran adalah kebenaranan. Sesuatu yang masih diyakini biasanya sangat jauh dari kebenaran, karena biasanya berasal dari dongeng katanya dan katanya saja. Mereka yang marah dan mengamuk ketika dipaparkan kebenaran, biasanya terinfeksi kebodohan dan kebiadaban.
  17. Hati2 terhadap para penipu yang mendoktrin tentang siapa kita, kemudian diarahkan untuk menjadi budaknya. Yang penting adalah kita punya pengalaman pribadi tentang mengenal diri, setelah itu baru menuju kepada kepercayaan diri.
  18. Para perampok keyakinan dan kepercayaan sesungguhnya hanya merusak kejiwaan saja dengan jualan prasangka dan kepalsuan kehidupan.
  19. Para perampok keyakinan yang melakukan pembodohan dengan iman percaya dulu tanpa bukti menuju perbudakan dan penjajahan nalar budi serta akal sehat sehingga banyak kebiadaban dilakukan atas nama tuhan dan ibadah.
  20. Orientasi masyarakat kita sering termanipulasi doktrin2 yang memperbudak masyarakat dengan rejim tafsir yang tidak berorientasi pada kepentingan masyarakat kita. Jadilah masyarakat perbudakan yang mendurhakai negeri dan budayanya sendiri, karena hati nurani dan budi pekertinya telah mati.
  21. Yang membahayakan memang perbudakan dan pembodohan dan memaknai kebiadaban, terorisme, perampokan, perkosaan, anarki dan pembunuhan sebagai bagian dari jalan sorga dan ibadahnya.
  22. Yang lebih dibutuhkan adalah kemanusiaan dan etika serta ilmu pengetahuan yang mengantarkan kita pada segala kemajuan dan peradaban ini, bukan agama. Yang dalam prakteknya sering menimbulkan petaka dan mimpi buruk peradaban serta kemanusiaan dengan penggunaan kebiadadaban, terorisme, anarki, pembunuhan sebagai ibadah.
  23. Saya sudah tidak dalam kotak agama, pasca agama!
  24. Pocong yang bukan gaib lebih berbahaya daripada yang gaib.
  25. Hanya orang merdeka yang tahu arti kemerdekaan yang dapat memerdekakan mereka yang jadi korban perbudakan dan pembodohan serta laknat semesta alam.
  26. Untuk memerdekakan setidaknya harus memberi kesadaran akan arti merdeka itu apa, kalau mentalnya masih budak dimerdekakakanpun tetap akan mencari atau menciptakan majikan lagi. Kalau sudah timbul kesadaran ternyata ia dalam perbudakan dan pembodohan serta mengerti arti merdeka itu apa; maka mereka akan berusaha dan bersatu untuk memerdekakan diri sendiri. 
  27. Kejawen yang saya tahu adalah ajar kasampurnan pribadi bukan jadi budak jengkang-jengking dan menyembah negeri dan budaya lain. Yang begitu itu penistaan terhadap bangsa dan budaya nusantara karena  menghasut serta memanipulasi supaya jadi budak dan bodoh.
  28. Di Nusantara banyak orang yang mempunyai kemampuan linuwih bisa membaca karakteristik dan kemampuan seseorang nyaris tanpa data verbal, bahkan apat membaca sejarah dan masa depan. Semoga saudara2 kita yang merdeka dari pembodohan dan perbudakan segera dapat mencapai tingkatan pencapaian tersebut.
  29. Melarang dan melawan pluralisme adalah kejahatan kemanusiaan serta pendukung kebiadaban.
  30. Stop biadabisasi yang sudah berlarut larut terhadap rakyat dan bangsa ini. Pembodohan iman percaya dulu tanpa bukti serta penyusupan doktrin2 biadab bahkan lewat sistem pendidikan tingkat terendah telah mencuci otak dan menjauhkan dari budi pekerti serta budaya luhur bangsa kita. Semoga kita bisa membersihkan sisa doktrin biadabisasi yang masih ada, walaupun dalam mimpi terburuk kita.

Kamis, 05 April 2012

HIKAYAT SURTI DAN TEJO

Oleh: Lintang Wetan


Surti dan Tejo adalah dua remaja yang sedang hangat-hangatnya berpacaran. Setiap hari mereka selalu bertemu, kemana-mana selalu pergi berdua, serasa dunia ini hanya milik mereka berdua saja.

Melihat hal itu, Sang Romo berpesan pada Surti dan Tejo. "Kalian boleh pergi kemana-mana berdua, berpacaranlah sepuas-puasnya, tapi ingat satu hal jangan ada yang meremas-remas dua buah kuldhi itu. Nanti kamu jadi tahu rasanya dan akibatnya bisa buruk. Ingat itu baik-baik!"

Surti dan Tejo mengangguk tanda setuju dan kehidupan dua sejoli itu pun berjalan kembali seperti biasa. Roda-roda asmara mereka terus bergulir. Sesekali pesan dari Romo selalu teringat dalam sanubari, namun apalah daya pesan itu dalam gelegak asmara dua insan yang tengah mabuk kepayang.

Suatu ketika Sang Romo sedang tidak berada di rumah. Hanya ada Surti dan Tejo yang sedang duduk berduaan di sofa ruang tamu yang empuk. Mereka bercanda dan terus saja bercanda. Hingga tanpa sengaja tangan Tejo menyenggol salah satu buah kuldhi-nya Surti.

“Auw … !” teriak Surti kegelian dan langsung mendekap dua buah kuldhi-nya. Ada perasaan aneh yang berdesir-desir. Serasa sentuhan Tejo tadi membuat Surti sejenak melayang jauh ke awan.

“Maaf, Surti, aku nggak sengaja!” tukas Tejo.

“Hmm … nggak apa-apa.” Surti menimpali sambil tersipu.

“Ngomong-ngomong, rasanya gimana sih Sur?” tanya Tejo ingin tahu.

Surti hanya diam, dalam hatinya campur aduk. Tejo pun dengan naluri laki-lakinya semakin ingin tahu dan bertanya lebih jauh.

”Enak ya Sur? ......... Hmmm ... apa boleh kusenggol lagi?”

”Enak sih, tapi jangan Mas. Kemarin kan Romo sudah bilang kalau dua buah kuldhi-ku ini ndak boleh disentuh, apalagi diremas, nanti kita jadi tahu rasanya.” demikian jawab Surti.

”Ah, buktinya tadi kamu bilang rasanya enak. Berarti Romo itu bohong. Paling-paling Romo takut kita bisa jadi seperti dia, bisa merasakan enaknya buah kuldhi itu. Masak cuma Romo saja yang boleh merasakan enak, kita juga boleh dong, Sur!” kata Tejo mulai nakal dan mencari-cari alasan untuk akal bulusnya.

”Hmmm ... kalau dipikir-pikir betul juga sih!” gumam Surti perlahan.

Sesegera itu pula tangan Tejo mulai menyentuh dan meremas-remas dua buah kuldhi milik Surti. Surti pun tak lagi bisa menolak selain hanya membiarkan kenikmatan itu menderanya. Benar sekali bahwa buah kuldhi memang enak rasanya. Enaaaaak sekali. Deru nafas memburu, segala rasa tertumpah, Surti dan Tejo menari-nari dalam ketelanjangan cinta remaja. Jam dinding pun terus berdetak seiring dua sejoli ini tenggelam terlalu dalam di samudera asmara penuh nafsu liar. Biarlah yang terjadi ... terjadilah!

Seminggu sudah sejak kejadian itu Surti mulai mual-mual. Setelah diperiksa dengan tester, barulah ketahuan bahwa Surti telah hamil. Surti panik dan segera memberitahukan hal itu pada Tejo, sang kekasih. Tejo pun jadi ikut bingung. Akhirnya mereka berdua, dalam kepolosannya, bersepakat menyembunyikan kehamilan itu dari Sang Romo.

Tapi waktu terus bergulir dan perut Surti yang terus membuncit tak lagi mampu disembunyikan. Tak ayal lagi akhirnya Sang Romo pun tahu tentang kehamilan Surti dan langsung didera amarah besar. Ia memanggil Tejo untuk datang ke rumah Surti. Dua sejoli yang malang itu pun harus menghadapi sidang pengadilan Sang Romo.

”Tejo, bagaimana kok sampai bisa terjadi hal itu? Kenapa kamu meremas-remas dua buah kuldhi Surti?” tanya Sang Romo dalam murkanya.

”Anu... anu .... Romo, soalnya Surti itu sih menggoda aku. Waktu buah kuldhi-nya tanpa sengaja kusenggol, dia bilang enak rasanya. Ya .. akhirnya kusengol lagi, senggol lagi, lalu kuremas-remas, sampai terjadilah yang harus terjadi” jawab Tejo berkilah menyelamatkan diri dari kesalahan.

”Surti, ..... oaalah nduk, nduk, Romo kan sudah bilang kalau kamu nggak boleh membiarkan dua buah kuldhi itu diremas-remas, kamu nanti jadi tahu rasanya. Kalau sudah begitu pasti kalian akan jatuh ke dalam perbuatan yang tak seharusnya kalian lakukan. Kenapa toh nduk, kok kamu malah berani-berani menggoda Tejo?” tanya Sang Romo pada Surti.

”Ehmmm ... ehmmmm ....”. Surti bingung mencari-cari alasan. Pandangan matanya berputar ke sana-sini. Sampai akhirnya matanya tertambat pada lukisan di dinding rumah. Itu adalah lukisan hutan dan ada seekor ular yang bertengger di atas dahan sebuah pohon. Dalam kepolosannya, Surti pun mendapat ide alasan yang menurutnya bagus.

”Romo, saya tadi digoda oleh ular di lukisan itu. Tiba-tiba ularnya bisa bicara, dan katanya kalau dua buah kuldhi-ku ini diremas, rasanya pasti enak. Aku nanti bisa tahu rasanya seperti halnya Romo dulu juga pernah tahu rasanya.” Surti nyerocos dengan alasan yang tidak logis.

Sang Romo yang adalah sosok bijaksana tak sampai hati marah-marah pada kedua bocah remaja itu. Akhirnya kekesalannya dia tumpahkan pada lukisan ular di dinding. Sang Romo kemudian berujar lantang.

”Hai ular, terkutuklah kamu, kamu akan jadi binatang yang melata tanpa kaki dan makan debu tanah.”

Lalu Sang Romo melanjutkan, katanya:

”Hai Surti, kamu sudah hamil, jadi kamu harus menikah dengan Tejo. Kamu nanti akan merasakan sakitnya bersalin dan kamu tidak akan bisa senang-senang lagi seperti dulu. Kamu harus merawat anakmu dan mengurus pekerjaan rumah tanggamu. Sedangkan kamu Tejo, kamu akan menjadi suami dari Surti. Kamu juga tak akan dapat bersenang-senang lagi seperti dulu. Kamu sekarang harus bekerja keras membanting tulang untuk menafkahi anak istrimu. Hidup kalian berdua tak akan sama lagi. Kalian akan merasakan kerasnya hidup yang sesungguhnya.”

Sang Romo yang bijaksana membekali mereka dengan uang secukupnya untuk kontrak rumah dan biaya hidup mereka untuk beberapa waktu. Selanjutnya Surti dan Tejo harus mengusahakan sendiri penghidupan mereka di tengah dunia yang keras. Itulah kisah dua sejoli Surti dan Tejo.

Senin, 26 Maret 2012

BOLEHKAH MARAH?

Oleh : Lintang Wetan

Bolehkah marah? Sedapat-dapatnya jangan, tapi kalau terpaksa atau memang benar-benar perlu, maka marah tentu saja boleh, asalkan janganlah amarah kita itu membuat kita terjerumus pada perbuatan yang tidak terpuji.

Marah, kadangkala memang diperlukan untuk menunjukkan ketegasan kita pada sesuatu yang nyata-nyata tidak benar. Marah karena ketidakadilan, marah karena kesewenang-wenangan, marah karena kecerobohan dan kelalaian. Marah untuk menunjukkan "yang seharusnya", marah untuk mengarahkan kepada hal yang lebih baik, marah untuk menegur dan menyadarkan seseorang yang khilaf.

Tetapi hati-hati, sebab marah itu beda-beda tipis dengan istilah pemarah alias tukang marah-marah, tukang protes, tukang kritik, tukang ngomel. Marah itu boleh tapi suka marah-marah itu jelas tidak boleh.

Lantas bagaimana membedakan amarah kita antara marah karena perlu dengan marah karena memang suka marah-marah?

Ini bukan ukuran pasti, tapi mungkin bisa dijadikan pertimbangan. Orang yang bijak hanya akan marah kalau benar-benar memang ia perlu marah, ia tahu kepada siapa ia harus melampiaskan kemarahannya dan batasan substansi yang diamarahkan. Biasanya setelah marah orang ini didera rasa menyesal dan kasihan pada yang dimarahinya dan kebanyakan dari mereka segera membuat rekonsiliasi, misalnya menghibur orang yang tadi dimarahi.

Berbeda dengan si pemarah alias orang yang sukanya marah-marah. Segala sesuatu, entah benar atau salah, dapat menjadi sumber amarah. Marahnya seringkali menabrak substansi yang ada di luar masalah. Misalnya marah karena kerjaan tidak beres akhirnya melebar pada memprotes karakter atau latar belakang seseorang. Ini jelas marah yang tidak tepat. Si pemarah juga cenderung butuh "melampiaskan" amarahnya, pelampiasan bisa sembarangan. Bos di kantor marah pada seorang karyawan laki-laki, si karyawan tidak bisa membalasnya lalu melampiaskan amarah pada istrinya, istrinya tidak bisa membalasnya, lalu melampiaskan amarah pada anaknya, anaknya tidak bisa membalasnya, lalu melampiaskan dengan menjitak adiknya atau menendang kucingnya. Inilah rantai energi negatif dari amarah yang tak berkesudahan dan menimbulkan dampak buruk bagi banyak aspek kehidupan.

Marah ... marah ... dan marah, bukankah itu wajah masyarakat kita hari ini? Dulu kita terkenal sebagai orang timur yang RAMAH, sekarang kita memiliki citra baru sebagai orang timur yang suka MARAH. Inilah jadinya kalau energi marah-marah terakumulasi secara komunal. Tak ayal lagi konflik dan disintegrasi bangsa terjadi di mana-mana, sebab semua orang mulai suka marah-marah.

Menjadi marah pada orang lain atau pada obyek eksternal itu hal yang sangat mudah, tetapi tentu lebih bijaksana bila kita lebih banyak meluangkan waktu untuk "marah pada diri sendiri". Seandainya setiap kita lebih banyak "marah pada diri sendiri", maka kita akan lebih sedikit marah pada orang lain. Dan rasanya dengan begitu boleh jadi kita tidak perlu sampai marah pada orang lain, sebab orang tinggal melihat teladan hidup kita, dan mereka segera tersadar bahwa mereka sudah khilaf.

"Siapa pun bisa marah - marah itu mudah. Tetapi, marah pada orang yang tepat, dengan kadar yang sesuai, pada waktu yang tepat, demi tujuan yang benar, dan dengan cara yang baik - bukan hal mudah." (Aristoteles).