Cari Blog Ini

Kamis, 19 Januari 2012

TINJAUAN HISTORIS - MISTIS SERAT JANGKA JAYABAYA

Oleh : Lintang Wetan

Tinjauan Historis

Prabu Jayabaya adalah salah seorang raja Kediri (1130-1157Ms) yang termasyur dan konon ahli dalam menerawang masa depan. Sebagian besar masyarakat Jawa, sejak dulu hingga dewasa ini masih percaya bahwa Prabu Jayabaya telah menulis sebuah syair ramalan yang disebut Serat Jangka Jayabaya. Isinya adalah ramalan tentang jatuh-bangunnya "Negeri Jawa" atau Nusantara. Umumnya tafsir tentang Serat Jangka Jayabaya selalu menekankan pada akan datangnya sosok pemimpin hebat yang akan memulihkan zaman yang rusak (edan) menuju zaman yang penuh kemuliaan dan ketentraman sejati.

Kendati demikian, menurut Wibatsu Harianto Soembogo dalam bukunya “Kitab Primbon Quraisyn Adammakna: Serat Jangka Jayabaya” menyatakan bahwa sumber Serat Jangka Jayabaya sebenarnya merujuk pada Kitab Asrar (Musarar) karangan Sunan Giri Prapen (Sunan Giri III) yang dikumpulkan pada tahun Saka 1540 (1618Ms). Sedangkan Serat Jangka Jayabaya sendiri pertama kali ditulis oleh Pangeran Wijil I (Pangeran Kadilangu II) pada tahun Saka 1666-1668 (1741-1743Ms). Pujangga ini adalah keturunan Sunan Kalijaga, sehingga beliau dapat mengetahui sejarah leluhurnya dari dekat, termasuk riwayat masuknya Prabu Brawijaya V ke dalam agama Islam serta kisah pertemuan segitiga antara Sunan Kalijaga, Brawijaya V dan Sabdo Palon Nayagenggong.

Dengan demikian, keotentikan Serat Jangka Jayabaya sebagai karya sastra yang ditulis oleh Prabu Jayabaya sangat diragukan. Apalagi isi dari Serat Jangka Jayabaya sangat dipengaruhi oleh teologi Islam, padahal Jayabaya adalah Raja Kediri yang beragama Hindu dan memerintah sebelum masa Islam masuk Nusantara. Kuat dugaan Kitab Asrar warisan Sunan Giri Prapen dikonstruksi ulang oleh Pangeran Wijil I dan isinya dipadukan dengan Serat Bharatayudha yang ditulis Mpu Sedah pada masa Prabu Jayabaya. Mungkin tujuannya untuk dapat menjadi sumber penyemangat perjuangan bagi generasi anak cucu di kemudian hari. Pangeran Wijil I meminjam ketenaran Prabu Jayabaya untuk menambahkan otoritas dan wibawa pesan nasionalisme yang ingin disampaikan.

Tinjauan Mistis

Dari masa ke masa, banyak tafsir-tafsir dibuat atas syair-syair Serat Jangka Jayabaya. Apalagi dengan didukung oleh ramalan Serat Sabdajati karya pujangga besar Ronggowarsito dan Wangsit dari Prabu Siliwangi. Hebatnya simbol-simbol yang digunakan dalam syair-syair Serat Jangka Jayabaya sangat relevan dengan kenyataan zaman modern dewasa ini. Berikut beberapa petikan syair dan tafsir yang berkembang di masyarakat:

Syair:

Mbesuk jen wis ana kreta mlaku tanpa turangga

Tanah Djawa kalungan wesi

Prahu mlaku ing a duwur awang-awang

Kali pada ilang kedunge, iku tanda yen jaman Jayabaya wis cedak.”

Terjemahan :

Besok jika ada kereta berjalan tanpa kuda ( tafsir = mobil, kereta api)

Tanah Jawa berkalung besi ( tafsir = rel Kereta api)

Perahu terbang di atas angkasa ( tafsir = pesawat terbang, roket)

Sungai pada hilang sumbernya (tafsir = sungai buatan)

Itulah pertanda jaman Jayabaya sudah dekat.

Syair:

Akeh udan salah mangsa

Akeh perawan tua

Akeh randa meteng

Akeh bayi takon bapa

Agama akeh kang nantang, kamanungsan ilang

Terjemahan :

Banyak hujan tidak tepat /sesuai musimnya

Banyak perawan tua

Banyak janda hamil (tafsir = tanpa suami)

Banyak bayi bertanya siapa bapaknya (tafsir = hamil di luar nikah)

Agama banyak ditentang, rasa kemanusiaan makin hilang

Syair:

Wong wadon nganggo pakean lanang

Iku tandane yen bakal nemoni wolak-waliking jaman

Akeh manungsa ngutamakake real, lali kemanungsan“

Terjemahan:

Perempuan berpakaian laki-laki

Itu pertanda akan menemui jaman yang serba terbalik

Banyak manusia mengutamakan harta, lupa rasa kemanusiaan.

Syair:

Wong apik-apik padha kapencil.

Akeh wong nyambut gawe apik-apik padha krasa isin.

Luwih utama ngapusi.

Terjemahan:

Orang baik terkucilkan.

Banyak orang bekerja baik-baik /jujur yang malah malu

Lebih baik berdusta

Syair:

Wong wadon ilang kawirangane.

Wong lanang ilang kaprawirane.

Akeh wong lanang ora duwe bojo.

Akeh wong wadon ora setya marang bojone.

Akeh ibu padha ngedol anake.

Akeh wong wadon ngedol awake.

Terjemahan:

Orang perempuan hilang malunya

Lelaki hilang keberaniannya/ jadi pengecut

Banyak laki-laki tidak beristri

Banyak wanita tidak setia/ berselingkuh

Banyak ibu menjual anaknya

Banyak wanita menjual diri

Syair:

Sing ngalah rumangsa kabeh salah.

Ana Bupati saka wong sing asor imane.

Patihe kepala judhi.

Wong sing atine suci dibenci.

Wong sing jahat lan pinter jilat derajat.”

Terjemahan:

Yang mengalah merasa semua salah

Ada bupati (tafsir = pemerintah) yang rendah imannya (tafsir = moralnya)

Patihnya (tafsir = aparat) adalah kepala judi (tafsir = politik uang)

Orang berhati suci dibenci,

Orang jahat dan penjilat semakin dapat kedudukan

Beberapa syair dan tafsir di atas tampaknya cukup relevan terhadap fenomena kekinian. Satu per satu simbol dalam syair dapat dengan mudah ditancapkan pada kondisi carut marut bangsa hari-hari ini. Hal ini yang membuat masyarakat (khususnya Jawa) merasa kian yakin bahwa ramalan Serat Jangka Jayabaya benar-benar dimaksudkan untuk keadaan Nusantara pada jaman sekarang ini.

Lebih dari itu, umumnya tafsiran Jangka Jayabaya selalu ditekankan pada akan datangnya sosok pemimpin hebat (Ratu Adil) yang disebut sebagai “Herucakra” yang akan memulihkan zaman yang morat-marit ini menuju zaman yang penuh kemuliaan dan ketentraman sejati. Masyarakat selalu bertanya-tanya siapa sebenarnya sosok Herucakra ini? Dalam wilayah ini banyak terjadi perbedaan penafsiran yang intinya terbagi dalam dua kutub, yang pertama menafsirkan sosok Herucakra sebagai persona murni, sedangkan pihak kedua menafsirkan Herucakra sebagai gambaran (personifikasi) suatu kondisi karakteristik bangsa yang bermartabat.

Sebuah Perenungan

Jadi apa sebenarnya motif atau tujuan penulisan Serat Jangka Jayabaya ini? Apakah Serat Jangka Jayabaya murni merupakan kitab pewahyuan mistik para pujangga dan spiritualis pada era Jawa Baru? Ataukah tujuan penulisan kitab ini sebenarnya bermuatan politis untuk mengokohkan kekuasaan Kesultanan Mataram dengan cara mempribumisasikan nilai-nilai Islami ke dalam kearifan lokal. Suatu upaya politis para pujangga Jawa Baru untuk menyempurnakan cita-cita Islam yang Njowo (membumi) sebagaimana yang dirintis oleh Sunan Kalijaga dan Sultan Hadiwijaya (Joko Tingkir) yang nantinya menjadi cikal bakal Islam Abangan (Abahan). Dan yang tidak kalah pentingnya adalah strategi perang sastra untuk menangkal pengaruh kultural Kerajaan Bali yang masih satu akar dengan Majapahit. Dengan demikian masyarakat Blambangan (Banyuwangi) akan lebih condong berpaling pada Mataram daripada ke Bali.

Demikianlah Serat Jangka Jayabaya seakan menyimpan misteri tiada akhir, apakah ia merupakan representasi wahyu spiritual yang menerawang jauh ke masa depan ataukah hanya akal-akalan sastra untuk kepentingan politis Mataram. Entahlah mana yang benar atau mungkin bisa jadi juga kedua-duanya adalah benar. Yang jelas, masyarakat awam di Jawa hingga saat ini masih memegang teguh keyakinan pada Serat Jangka Jayabaya. Kalangan Kejawen umumnya masih meyakini bahwa suatu saat akan datang masanya Jawa (Nusantara) akan bangkit berjaya kembali, yaitu ketika Sang Ratu Adil alias Satriyo Piningit alias Herucakra alias Satriyo Pinandhito Sinisihan Wahyu datang memerintah negeri ini. Wallahualam!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar