Oleh : Lintang Wetan
Bolehkah marah? Sedapat-dapatnya jangan, tapi kalau terpaksa atau memang benar-benar perlu, maka marah tentu saja boleh, asalkan janganlah amarah kita itu membuat kita terjerumus pada perbuatan yang tidak terpuji.
Marah, kadangkala memang diperlukan untuk menunjukkan ketegasan kita pada sesuatu yang nyata-nyata tidak benar. Marah karena ketidakadilan, marah karena kesewenang-wenangan, marah karena kecerobohan dan kelalaian. Marah untuk menunjukkan "yang seharusnya", marah untuk mengarahkan kepada hal yang lebih baik, marah untuk menegur dan menyadarkan seseorang yang khilaf.
Tetapi hati-hati, sebab marah itu beda-beda tipis dengan istilah pemarah alias tukang marah-marah, tukang protes, tukang kritik, tukang ngomel. Marah itu boleh tapi suka marah-marah itu jelas tidak boleh.
Lantas bagaimana membedakan amarah kita antara marah karena perlu dengan marah karena memang suka marah-marah?
Ini bukan ukuran pasti, tapi mungkin bisa dijadikan pertimbangan. Orang yang bijak hanya akan marah kalau benar-benar memang ia perlu marah, ia tahu kepada siapa ia harus melampiaskan kemarahannya dan batasan substansi yang diamarahkan. Biasanya setelah marah orang ini didera rasa menyesal dan kasihan pada yang dimarahinya dan kebanyakan dari mereka segera membuat rekonsiliasi, misalnya menghibur orang yang tadi dimarahi.
Berbeda dengan si pemarah alias orang yang sukanya marah-marah. Segala sesuatu, entah benar atau salah, dapat menjadi sumber amarah. Marahnya seringkali menabrak substansi yang ada di luar masalah. Misalnya marah karena kerjaan tidak beres akhirnya melebar pada memprotes karakter atau latar belakang seseorang. Ini jelas marah yang tidak tepat. Si pemarah juga cenderung butuh "melampiaskan" amarahnya, pelampiasan bisa sembarangan. Bos di kantor marah pada seorang karyawan laki-laki, si karyawan tidak bisa membalasnya lalu melampiaskan amarah pada istrinya, istrinya tidak bisa membalasnya, lalu melampiaskan amarah pada anaknya, anaknya tidak bisa membalasnya, lalu melampiaskan dengan menjitak adiknya atau menendang kucingnya. Inilah rantai energi negatif dari amarah yang tak berkesudahan dan menimbulkan dampak buruk bagi banyak aspek kehidupan.
Marah ... marah ... dan marah, bukankah itu wajah masyarakat kita hari ini? Dulu kita terkenal sebagai orang timur yang RAMAH, sekarang kita memiliki citra baru sebagai orang timur yang suka MARAH. Inilah jadinya kalau energi marah-marah terakumulasi secara komunal. Tak ayal lagi konflik dan disintegrasi bangsa terjadi di mana-mana, sebab semua orang mulai suka marah-marah.
Menjadi marah pada orang lain atau pada obyek eksternal itu hal yang sangat mudah, tetapi tentu lebih bijaksana bila kita lebih banyak meluangkan waktu untuk "marah pada diri sendiri". Seandainya setiap kita lebih banyak "marah pada diri sendiri", maka kita akan lebih sedikit marah pada orang lain. Dan rasanya dengan begitu boleh jadi kita tidak perlu sampai marah pada orang lain, sebab orang tinggal melihat teladan hidup kita, dan mereka segera tersadar bahwa mereka sudah khilaf.
Bolehkah marah? Sedapat-dapatnya jangan, tapi kalau terpaksa atau memang benar-benar perlu, maka marah tentu saja boleh, asalkan janganlah amarah kita itu membuat kita terjerumus pada perbuatan yang tidak terpuji.
Marah, kadangkala memang diperlukan untuk menunjukkan ketegasan kita pada sesuatu yang nyata-nyata tidak benar. Marah karena ketidakadilan, marah karena kesewenang-wenangan, marah karena kecerobohan dan kelalaian. Marah untuk menunjukkan "yang seharusnya", marah untuk mengarahkan kepada hal yang lebih baik, marah untuk menegur dan menyadarkan seseorang yang khilaf.
Tetapi hati-hati, sebab marah itu beda-beda tipis dengan istilah pemarah alias tukang marah-marah, tukang protes, tukang kritik, tukang ngomel. Marah itu boleh tapi suka marah-marah itu jelas tidak boleh.
Lantas bagaimana membedakan amarah kita antara marah karena perlu dengan marah karena memang suka marah-marah?
Ini bukan ukuran pasti, tapi mungkin bisa dijadikan pertimbangan. Orang yang bijak hanya akan marah kalau benar-benar memang ia perlu marah, ia tahu kepada siapa ia harus melampiaskan kemarahannya dan batasan substansi yang diamarahkan. Biasanya setelah marah orang ini didera rasa menyesal dan kasihan pada yang dimarahinya dan kebanyakan dari mereka segera membuat rekonsiliasi, misalnya menghibur orang yang tadi dimarahi.
Berbeda dengan si pemarah alias orang yang sukanya marah-marah. Segala sesuatu, entah benar atau salah, dapat menjadi sumber amarah. Marahnya seringkali menabrak substansi yang ada di luar masalah. Misalnya marah karena kerjaan tidak beres akhirnya melebar pada memprotes karakter atau latar belakang seseorang. Ini jelas marah yang tidak tepat. Si pemarah juga cenderung butuh "melampiaskan" amarahnya, pelampiasan bisa sembarangan. Bos di kantor marah pada seorang karyawan laki-laki, si karyawan tidak bisa membalasnya lalu melampiaskan amarah pada istrinya, istrinya tidak bisa membalasnya, lalu melampiaskan amarah pada anaknya, anaknya tidak bisa membalasnya, lalu melampiaskan dengan menjitak adiknya atau menendang kucingnya. Inilah rantai energi negatif dari amarah yang tak berkesudahan dan menimbulkan dampak buruk bagi banyak aspek kehidupan.
Marah ... marah ... dan marah, bukankah itu wajah masyarakat kita hari ini? Dulu kita terkenal sebagai orang timur yang RAMAH, sekarang kita memiliki citra baru sebagai orang timur yang suka MARAH. Inilah jadinya kalau energi marah-marah terakumulasi secara komunal. Tak ayal lagi konflik dan disintegrasi bangsa terjadi di mana-mana, sebab semua orang mulai suka marah-marah.
Menjadi marah pada orang lain atau pada obyek eksternal itu hal yang sangat mudah, tetapi tentu lebih bijaksana bila kita lebih banyak meluangkan waktu untuk "marah pada diri sendiri". Seandainya setiap kita lebih banyak "marah pada diri sendiri", maka kita akan lebih sedikit marah pada orang lain. Dan rasanya dengan begitu boleh jadi kita tidak perlu sampai marah pada orang lain, sebab orang tinggal melihat teladan hidup kita, dan mereka segera tersadar bahwa mereka sudah khilaf.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar