Cari Blog Ini

Minggu, 08 Desember 2013

Keyakinan di Antara Vetty Vera, Absolutisme, dan Simbol



Sayup-sayup dari warung pojok dekat rumah saya terdengar suara radio yang melantunkan lagunya Vetty Vera “Sedang-Sedang Saja”. Sejenak saya perhatikan liriknya dan saya menemukan sebersit hikmah di dalamnya. Hikmah bahwa dalam hidup ini jangan memandang, menilai maupun mempercayai segala sesuatu dengan terlalu atau berlebihan. Santai saja, yang sedang-sedang saja, don’t be so serious! Kalau kata sesepuh Jawa: ojo kagetan, ojo gumunan!

Secara naturnya manusia memang makhluk emosi, hal itu yang seringkali membuatnya bias dalam menilai sesuatu. Emosi membuat manusia sering terjebak dalam perasaan like and dislike. Ketika seorang gadis jatuh cinta pada seorang pria pujaan hatinya, biasanya ia kehilangan kemampuan untuk menilai pria tersebut dengan logis. Seolah-olah sang pria itu adalah pangeran tampan yang bakal membahagiakan hidupnya. Si gadis mulai klepek-klepek ketika diberi rayuan gombal. Maka semua-semua diberikan, bahkan mungkin kesuciannya sekalipun. Lalu waktu berlalu dan si gadis pun menyadari dalam penyesalannya ketika ia ditinggalkan begitu saja dengan segala gombal yang habis manis lalu dibuang sepahnya.

Tanpa disadari kita pun sering terjebak dalam fenomena bias dari emosi ini, terutama ketika menyangkut aspek keyakinan (belief). Suatu keyakinan atau agama sebenarnya bertujuan untuk mengarahkan manusia pada norma-norma kehidupan dengan harapan bahwa manusia tersebut dapat meraih kebahagiaan sejati dalam hidupnya. Suatu keyakinan atau agama memuat nilai-nilai yang ideal. Maka di sanalah kita akan menemukan kisah tokoh-tokoh yang absolut, yang sempurna, yang suci, yang paling mulia dan sebutan jargon-jargon sejenisnya.

Agama Kristen meyakini Yesus adalah manusia yang tak bercacat cela, karena itu Ia layak dianggap sebagai Tuhan (The Lord) dan sang juru selamat. Agama Islam meyakini Nabi Muhammad sebagai insan kamil, uswatun hasanah, suri tauladan yang sempurna, nabi yang paling mulia. Agama Hindu Waisana meyakini Sri Khrisna sebagai avatara Wisnu, manusia yang sempurna dan kebenaran yang mutlak. Agama Buddha meyakini Gautama adalah Sang Buddha, sang penemu kebenaran dan yang mencapai penerangan sempurna. Disamping itu ada pula keyakinan-keyakinan atau sektarian dengan jargon tokoh-tokohnya sendiri yang diklaim sebagai sosok yang absolut.

Sekarang mari kita renungkan, apa benar klaim-klaim absolutisme itu? Dalam pendapat saya pribadi, saya tidak akan menggunakan istilah benar atau tidak benar. Tetapi menurut saya klaim-klaim absolutisme dalam keyakinan atau agama manapun tidak pernah dapat dibuktikan secara riil. Semua itu hanya kisah yang ada di awang-awang, tidak realistis, bahkan tidak logis. Semua tokoh-tokoh itu hanya dipinjam sebagai simbol bagi nilai-nilai ideal dari suatu keyakinan. Kenyataannya dalam alam nyata tidak pernah ada sosok yang absolut atau yang benar-benar sempurna.

Bagaimanapun tidak semua hal memang harus logis, karena sains yang paling modern sekalipun masih menyisakan gap misteri. Pada gap-gap itulah manusia perlu menyematkan sosok-sosok absolut untuk membantu menjelaskan apa yang misterius dan yang tak terukur. Kita hanya perlu menyadari bahwa sosok-sosok absolut itu hanyalah imajiner, hanya simbol saja dari hakikat yang ingin dicapai. Mereka hanyalah inspirasi untuk menggugah jiwa kita agar bangkit mengejar dan meraih kesejatian hidup.

Selama kita masih manusia yang bernafas di dunia ini, kita perlu simbol-simbol untuk dapat menyampaikan atau memahami sesuatu yang esensial. Simbol bisa berupa apa saja, termasuk kosakata bahasa yang kita gunakan untuk menyampaikan suatu maksud. Misalnya juga dalam bidang matematika, kita perlu simbol rumusan untuk membuat suatu perhitungan luas atau volume. Tanpa simbol-simbol itu, sulit dibayangkan bagaimana caranya membuat suatu perhitungan. Namun simbol tetaplah simbol, ia bukanlah tujuan itu sendiri, jadi janganlah kita terjebak pada absolutisme simbol itu. Saya bisa memberikan anda partitur lagu dengan simbol not angka atau not balok, tapi yang penting bukanlah simbol notnya, yang penting anda dapat menyanyikan lagu dengan nada yang benar. Kalau anda sudah hafal nada-nada lagunya, anda tidak perlu lagi melihat partitur. Paham?

Dulu saya menghabiskan banyak waktu berlelah-lelah mempelajari doktrin suatu agama, saya menyibukkan diri mencari pembuktian bahwa kisah dalam kitab suci saya itu benar dan riil, saya berdebat dengan orang-orang yang menyerang agama saya dan pada akhirnya saya menganggap diri saya layak masuk surga dengan segala pahalanya. Tapi kenyataannya hidup saya tidak diliputi kedamaian, karena fokus saya ternyata hanya pada simbolnya, bukan pada hakikat yang ada di balik simbol itu. Jadi masa bodoh dengan semua teologi A I U E O, yang penting saya tangkap hakikatnya dan hidup saya menjadi jauh lebih tenang. Jangan terlalu serius masbro, lebih kita nyanyi dan joget bareng: “Hidup ini jangan serba terlalu yang sedang-sedang saja. Karena semua yang serba terlalu bikin sakit kepala”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar