Sayup-sayup dari warung pojok dekat rumah
saya terdengar suara radio yang melantunkan lagunya Vetty Vera
“Sedang-Sedang Saja”. Sejenak saya perhatikan liriknya dan saya
menemukan sebersit hikmah di dalamnya. Hikmah bahwa dalam hidup ini
jangan memandang, menilai maupun mempercayai segala sesuatu dengan
terlalu atau berlebihan. Santai saja, yang sedang-sedang saja, don’t be so serious! Kalau kata sesepuh Jawa: ojo kagetan, ojo gumunan!
Secara naturnya manusia memang makhluk emosi, hal itu yang seringkali
membuatnya bias dalam menilai sesuatu. Emosi membuat manusia sering
terjebak dalam perasaan like and dislike. Ketika seorang gadis jatuh
cinta pada seorang pria pujaan hatinya, biasanya ia kehilangan kemampuan
untuk menilai pria tersebut dengan logis. Seolah-olah sang pria itu
adalah pangeran tampan yang bakal membahagiakan hidupnya. Si gadis mulai
klepek-klepek ketika diberi rayuan gombal. Maka semua-semua diberikan,
bahkan mungkin kesuciannya sekalipun. Lalu waktu berlalu dan si gadis
pun menyadari dalam penyesalannya ketika ia ditinggalkan begitu saja
dengan segala gombal yang habis manis lalu dibuang sepahnya.
Tanpa disadari kita pun sering terjebak dalam fenomena bias dari emosi ini, terutama ketika menyangkut aspek keyakinan (belief).
Suatu keyakinan atau agama sebenarnya bertujuan untuk mengarahkan
manusia pada norma-norma kehidupan dengan harapan bahwa manusia tersebut
dapat meraih kebahagiaan sejati dalam hidupnya. Suatu keyakinan atau
agama memuat nilai-nilai yang ideal. Maka di sanalah kita akan menemukan
kisah tokoh-tokoh yang absolut, yang sempurna, yang suci, yang paling
mulia dan sebutan jargon-jargon sejenisnya.
Agama Kristen meyakini Yesus adalah manusia yang tak bercacat cela, karena itu Ia layak dianggap sebagai Tuhan (The Lord)
dan sang juru selamat. Agama Islam meyakini Nabi Muhammad sebagai insan
kamil, uswatun hasanah, suri tauladan yang sempurna, nabi yang paling
mulia. Agama Hindu Waisana meyakini Sri Khrisna sebagai avatara Wisnu,
manusia yang sempurna dan kebenaran yang mutlak. Agama Buddha meyakini
Gautama adalah Sang Buddha, sang penemu kebenaran dan yang mencapai
penerangan sempurna. Disamping itu ada pula keyakinan-keyakinan atau
sektarian dengan jargon tokoh-tokohnya sendiri yang diklaim sebagai
sosok yang absolut.
Sekarang mari kita renungkan, apa benar klaim-klaim absolutisme itu?
Dalam pendapat saya pribadi, saya tidak akan menggunakan istilah benar
atau tidak benar. Tetapi menurut saya klaim-klaim absolutisme dalam
keyakinan atau agama manapun tidak pernah dapat dibuktikan secara riil.
Semua itu hanya kisah yang ada di awang-awang, tidak realistis, bahkan
tidak logis. Semua tokoh-tokoh itu hanya dipinjam sebagai simbol bagi
nilai-nilai ideal dari suatu keyakinan. Kenyataannya dalam alam nyata
tidak pernah ada sosok yang absolut atau yang benar-benar sempurna.
Bagaimanapun tidak semua hal memang harus logis, karena sains yang
paling modern sekalipun masih menyisakan gap misteri. Pada gap-gap
itulah manusia perlu menyematkan sosok-sosok absolut untuk membantu
menjelaskan apa yang misterius dan yang tak terukur. Kita hanya perlu
menyadari bahwa sosok-sosok absolut itu hanyalah imajiner, hanya simbol
saja dari hakikat yang ingin dicapai. Mereka hanyalah inspirasi untuk
menggugah jiwa kita agar bangkit mengejar dan meraih kesejatian hidup.
Selama kita masih manusia yang bernafas di dunia ini, kita perlu
simbol-simbol untuk dapat menyampaikan atau memahami sesuatu yang
esensial. Simbol bisa berupa apa saja, termasuk kosakata bahasa yang
kita gunakan untuk menyampaikan suatu maksud. Misalnya juga dalam bidang
matematika, kita perlu simbol rumusan untuk membuat suatu perhitungan
luas atau volume. Tanpa simbol-simbol itu, sulit dibayangkan bagaimana
caranya membuat suatu perhitungan. Namun simbol tetaplah simbol, ia
bukanlah tujuan itu sendiri, jadi janganlah kita terjebak pada
absolutisme simbol itu. Saya bisa memberikan anda partitur lagu dengan
simbol not angka atau not balok, tapi yang penting bukanlah simbol
notnya, yang penting anda dapat menyanyikan lagu dengan nada yang benar.
Kalau anda sudah hafal nada-nada lagunya, anda tidak perlu lagi melihat
partitur. Paham?
Dulu saya menghabiskan banyak waktu berlelah-lelah mempelajari doktrin
suatu agama, saya menyibukkan diri mencari pembuktian bahwa kisah dalam
kitab suci saya itu benar dan riil, saya berdebat dengan orang-orang
yang menyerang agama saya dan pada akhirnya saya menganggap diri saya
layak masuk surga dengan segala pahalanya. Tapi kenyataannya hidup saya
tidak diliputi kedamaian, karena fokus saya ternyata hanya pada
simbolnya, bukan pada hakikat yang ada di balik simbol itu. Jadi masa
bodoh dengan semua teologi A I U E O, yang penting saya tangkap
hakikatnya dan hidup saya menjadi jauh lebih tenang. Jangan terlalu
serius masbro, lebih kita nyanyi dan joget bareng: “Hidup ini jangan serba terlalu yang sedang-sedang saja. Karena semua yang serba terlalu bikin sakit kepala”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar