Oleh: Syafa'atun Aisya
“Ayo sini.. Naik..”
Tangan penjaga klenteng melambai-lambai memanggil saya dan beberapa kawan yang tengah berkunjung ke Klenteng Dewi Kwan Im di Belitung. Klenteng yang dipercaya para lajang untuk berdoa mendapatkan jodoh. Letaknya diatas bukit. Anak-anak tangga melingkar ke atas menuju bangunan utama klenteng.
”Mau sembahyang?”
Saya mengangguk. Agak ragu.
”Tapi ajarin ya?” Pinta saya pada sang penjaga.
”Cuci tangan dulu di situ..” Si penjaga menunjuk sebuah wastafel yang menempel pada dinding pintu masuk.
”Ambil ini..” Perintahnya sambil mengasungkan kaleng penuh hio.
”Ambil berapa?” Saya bertanya penuh semangat.
”12. Mau dibakarin?”
Saya mengangguk.
”Nanti taro 3-3 ya. Di depan sana samping kiri kanan sama di depan patung sini. Sambil baca doa. Apa yang mau diminta.” Si penjaga memberi petunjuk dengan rinci.
Saya mengikuti petunjuknya. Membawa batangan hio yang telah dibakar dengan dua tangan tertangkup di depan dada. Asap tipis mengawang di udara. Saya menghampiri meja-meja altar dengan lilin-lilin besar tegak di kana kiri meja. Patung-patung budha bertubuh tambun dengan mimik lucu terduduk di hadapan meja bersama sebuah baskom kuningan besar berisi abu tempat menancapkan batangan hio.
Saya membagi hio di genggaman tiga-tiga. Merapal beberapa kalimat sakti. Membungkukkan badan tiga kali. Menancapkan tiga batang hio pada baskom besar berisi abu tempat beberapa hio lain telah tertancap. Membayangkan adegan-adegan dalam film-film Cina.
“Mau diramal?” Si penjaga kembali bertanya.
“Eeemmm… liat yang lain dulu deh..” Saya ragu-ragu. Meski penasaran juga.
Seorang teman yang selesai melakukan ritual yang sama tanpa ragu berkata:“Saya mau, Koh, diramal..”
“Sini..” si penjaga tak kalah semangat. “Mau doa sendiri atau didoain?”
“Didoain, saya gak tau bacaannya..”
“Sebutin nama, umur.. terus lagi punya masalah apa biar dibantu jalan kluarnya sama Dewi Kwan Im.”
“Diomongin, apa dalam hati aja?” Teman saya bertanya ragu.
“Diomongin aja.” Si penjaga menjelaskan.
“Engg... anu.. nama saya... umur... lagi ada problem sama kerjaan... bla.. bla...” Teman saya mulai curhat.
“Eh, untung gue belum jadi diramal. Bisa ketauan rahasia gue..” Saya berbisik pada teman disebelah saya. Kami terkikik.
Curhatan teman selesai. Si penjaga berkomat-kamit melafalkan sesuatu dalam bahasa Tiongkok. Tangannya menggenggam tabung bambu berisi bilah-bilah bambu tipis beraksara Cina. Mengocok-kocok tabung tersebut hingga salah satu bilah bambu mencelat keluar. Si penjaga membawa bilah bambu itu pada rak berisi lembaran-lembaran kertas beraksara Tionghoa. Ia mencocokkan tulisan pada bilah bambu dan amplop-amplop kertas yang berjajar pada rak. Setelah mendapatkan kartu yang pas ia menarik secarik kertas yang ada di dalam amplop. Secarik kertas bertulisan Melayu.
CIAM SI No. 31
Naga dan macan berjumpa di dalam hutan. Walaupun tidak membahayakan tapi pasti ragu. Kini sebaiknya tenang saja di dalam rumah hingga datangnya suasana yang tentram.
Teman yang diramal mengangguk senang. ”Cocok kok ramalannya..”Ia tersenyum puas sambil menyelipkan selembar limapuluhribuan pada kotak uang yang nongkrong di meja.
”Eh lu kok gak ikut sembahyang?” Saya bertanya pada teman saya yang berperawakan Cina.
”Lagi dapet.” Ia menjawab cepat.
”Emang kalo lagi dapet gak boleh ya?” Saya sempat merasa berdosa. Mengingat saya pun tengah dalam kondisi yang tak suci.
”Tergantung masing-masing sih. Ada yang percaya ada yang gak..” jawabannya sedikit menenangkan saya.
“Lu juga gak sembahyang?” tanya saya pada teman yang lain. Laki-laki yang juga berperawakan Cina. Bahkan namanya pun masih menggunakan nama Tionghoa.
“Ih.. gue gak sembahyang begituan kali. Tiap Minggu gue dah ke gereja. Lagian gue juga gak ngerti sama yang beginian..” Ia tampak enggan dihubung-hubungkan dengan ritual di klenteng ini.
”Eh, Dewi Kwan Im-nya kayak apa sih, Koh?” Saya bertanya penasaran pada si penjaga.
”Lha itu..” Ia merujuk pada gambar besar dengan pigura kaca. Tertempel di sudut ruangan. Seorang putri cantik berjubah putih berdiri diatas kepala naga yang tengah meliuk-liuk di tengah samudera. Sosok sang Dewi mengingatkan saya pada Nyi Roro Kidul. Ratu cantik penguasa laut Selatan di Jawa.
”Asalnya dari laut sana.” Si penjaga melanjutkan. Menunjuk ke luar klenteng. Pemandangan lautan terhampar dari altar halaman depan ruang utama klenteng.
”Eh namanya siapa Koh..?” Saya bertanya mengakhiri.
”Aliong.”
”Kamsia ya Koh..”
II
Hari Minggu menjadi hari yang spesial buat saya selama tinggal di Oslo. Pada hari itu saya memiliki agenda rutin berkunjung ke gereja-gereja yang ada di kota ini.
Ada beberapa alasan mengapa saya melakukan aktifitas ini.
Pertama, saya tak ingin rugi menganggurkan kartu bulanan saya. Kartu yang bisa digunakan untuk seluruh moda transportasi publik di kota Oslo. Trem, subway, bus, hingga feri yang bisa mengantar kita melihat-lihat fjord dan pulau-pulau kecil di sekitar Oslo. Dengan membeli kartu bulanan kita juga akan mendapatkan diskon yang cukup besar dibanding membeli kartu eceran harian atau pass sekali naik. Meski, kalau anda tak sering bepergian atau justru lebih banyak bepergian keluar kota, kartu bulanan anda tentu akan menjadi mubazir.
Nah, saya termasuk orang yang tak mau merugi dengan kartu bulanan itu. Maka meski hari Sabtu atau Minggu saya usahakan pergi meski tanpa tujuan. Wisata keliling kota dengan berpindah dari satu moda transportasi ke moda transportasi lain. Tak ubahnya seperti kelakukan Mr. Bean yang tengil dan pelit itu lah..
Kedua, plesiran ke gereja bisa menjadi salah satu alternatif membunuh waktu yang jitu di hari Minggu. Sebagai negara dimana para buruh menjadi penguasa, hari Minggu adalah hari bagi para buruh memanjakan diri. Along the day. Beberapa aktivitas mulai menurunkan intensitasnya pada hari Sabtu dan benar-benar berhenti pada hari Minggu. Kota menjadi sepi. Gedung-gedung tutup. Hampir tak ada toko yang buka. Kalaupun ada harganya menjadi luar biasa.
Diantara sedikit gedung yang buka pada hari Minggu adalah gereja. Mayoritas gereja di kota ini adalah gereja Protestan. Semua gereja akan melakukan misa pukul 11 siang. Misa dilakukan dalam bahasa Norwegia. Kalaupun ada yang dalam bahasa Inggris biasanya pada petang hari. Itu pun sangat jarang. Satu-satunya gereja Katolik (yang saya tau) dan melakukan misa dalam bahasa Inggris ada di pusat kota. Misa dilakukan pada pukul lima sore hari. Katedral ini konon dibangun khusus diperuntukkan bagi para tenaga kerja asal Filipina (TKF) yang menjadi tenaga kerja cukup berpengaruh di Norwegia. Kisah sukses juga banyak mengalir dari para TKF ini. Banyak dari mereka yang berhasil beralih kewarganegaraan dengan mengawini warga asli Norway.
Ketiga, pengalaman pertama saya yang awalnya secara iseng pergi ke gereja dekat asrama tempat saya tinggal pada akhirnya memberi efek candu bagi saya. Pergi dari satu gereja ke gereja lain memperkaya pengetahuan saya akan seni arsitektur di kota ini. Sebanyak gereja yang saya kunjungi, tak ada satupun arsitektur yang sama. Begitu beragam dan unik. Mulai dari yang sangat cozy dengan kayu-kayu Norwegia yang terkenal sangat kuat namun juga hangat yang melapisi seluruh ruangan dalam gereja, atau gaya Romawi kuno dengan ruangan beratap tinggi dan kaca-kaca patri di atap yang memberi kesan cahaya matahari berpendar dengan cantik. Salah satu gereja bahkan ada yang bergaya sangat posmodern hingga sama sekali tak mirip dengan bangunan gereja ataupun seperti rumah ibadah konvensional. Gereja yang mendapat sejumlah penghargaan untuk desain bangunan tersebut juga dimasukkan dalam salah satu dari seni kontemporer di Oslo.
Selain, saya juga suka sekali mendengar hymne-hymne yang dinyanyikan pada saat misa di gereja-gereja tersebut. Membandingkan satu paduan suara dengan paduan suara lain yang sangat bervariasi. Pada momen ini saya juga bisa bertindak gila dengan ikut bernyanyi-nyayi dalam bahasa Norway yang tak sepenuhnya saya mengerti. Sementara lyric hymne bisa dengan mudah didapat lewat selebaran atau booklet yang dibagikan pada saat jemaat masuk ruangan atau telah tersedia di masing-masing bangku jemaat.
Saat tetirah gereja ini saya juga mendapati sebuah gereja yang dipimpin oleh seorang pendeta dan petugas yang semuanya perempuan. Meski jemaatnya tidak hanya perempuan. Mimbar khotbah pun dibuat unik. Menggantung di salah pilar besar dan tinggi. Pada saat khutbah, pendeta perempuan yang masih muda dan cantik itu naik ke atas mimbar yang menggantung tersebut. Dengan suara yang merdu ia menyapa jamaat yang ada di bawahnya. Sinar matahari yang masuk lewat salah satu kaca atap memberi siluet indah. Saat jubah putih tipis sang pendeta berkibar menerawang diiringi koor paduan suara yang syahdu, saya seperti tengah syuting dalam salah satu adegan ”Lord of the Ring” bersama peri cantik di tengah hutan.
Omong-omong soal bahasa Norway, komuni-komuni dalam gereja inilah yang dengan baik hati menyediakan kursus bahasa Norway secara gratis. Saya sempat ikut komunitas ini. Menambah jaringan pertemanan sekaligus bisa sedikit mengirit bea makan malam. Pada setiap pertemuan secara berkala akan digilir juru masak dari para anggota yang berasal dari beragam negara. Anggota lain yang tak memasak hanya diminta sumbangan a la kadarnya dan bantu bersih-bersih selesai acara. Maka selain bisa belajar menyapa dengan bahasa Norway paling dasar saya juga punya kesempatan untuk mencicipi aneka penganan dari beragam negara. Tortilla a la Meksiko, pasta Italia, atau salmon saus jeruk a la Norwegia.
Meski, ada juga momen yang tak begitu saya sukai saat mengikuti ibadat misa di gereja-gereja tersebut. Saat para pendeta menyampaikan khotbahnya. Dalam bahasa Norway dan durasi yang cukup lama. Membuat mata ingin mengantuk.
Juga saat kantong-kantong amal (dengan beragam bentuk. Masing-masing gereja juga punya desain kantongnya sendiri-sendiri) mulai disebarkan petugas dan jamaat merogoh recehan disakunya untuk disumbangkan secara sukarela. Saya kerap tak enak hati bila hanya mendiamkan tangan saya. Untuk menyiasatinya, lagi-lagi saya gunakan aksi tengil dan pelit-nya Mr. Bean. Meraih kantong yang diasongkan, memasukkan tangan ke kantong dengan sedikit kocokan sehingga sedikit bunyi dentingan koin terdengar seolah-olah baru saja memasukkan beberapa koin ke dalam kantong, lalu segera mengangsurkan kantong ke jemaat di samping saya.
III
”Eh lu masih sholat kan?” Tanya teman yang lama tak bertemu dan terkejut melihat penampilan baru (sekaligus cantik) saya :)
”Ih kayak emak gue aja pertanyaan lu..” Saya menjawab dengan tertawa.
Selama menjadi musafir di Eropa harus diakui cukup sulit (kalau tidak dikatakan malas) buat saya menjaga ritme keberlangsungan shalat. Apalagi memasuki musim panas yang jadwal shalatnya bisa sangat amburadul. Magrib bisa jam 9 atau 10 malam. Isya pukul 11 atau 12, dan subuh pukul 2 pagi.
Sementara keinginan saya untuk bisa berziarah ke Kota Mekkah dan Madinah tak jua terkabul, visa Schengen saya malah mendamparkan saya sampai ke Vatikan. Ikut ramai merayakan Paskah dan antri menyemut dengan satu tujuan yang sama dengan ribuan pengunjung lain. Bertemu Paus baik yang masih hidup atau yang sudah terpendam bersama batu-batu pualam ciamik di lantai dasar Basilica.
Kembali ke tanah air persoalan beragama menjadi soal yang (dibuat) rumit. Hubungannya tak lagi antara saya dan Tuhan saya. Tapi melibatkan juga orang-orang sekitar yang ikut sibuk ingin tahu dan mengatur bagaiman hubungan antara saya dan Tuhan saya seharusnya berjalan. Garis hubungan ini makin menjadi benang kusut bila anda kebetulan seorang perempuan. Sejumlah list do and don’t atas nama agama menjadi tuntutan bagi para perempuan untuk dilakukan dan bahkan didesakkan untuk menjadi undang-undang.
Belum lagi sentimen keagamaan yang telah ditanamkan sejak kecil. Menjadi ajaran yang terus mengendap di alam bawah sadarnya. Tak heran bila dalam pergaulan kesehariannya, bocah-bocah tersebut sudah mampu mengidentifikasi agamanya menjadi agama yang terbaik dan menjadi teropong untuk mengukur agama orang lain. Bila ia bermain dan bertemu dengan sesuatu yang berbeda dengan adat dan tata laku agamanya, ia bisa dengan spontannya berkata: ”Ih.. pantesan dia begitu. Dia kan agamanya A/B/C...”
Begitupun sebelum memutuskan untuk mengidolakan seseorang, pertanyaan (entah sadar atau tidak) pertama yang sering muncul adalah ”Agamanya apa sih?” Kalau ternyata berbeda dengan agama yang dipeluknya maka akan ada kalimat lanjutan: ”Ih.. sayang ya? Padahal dia kan baik..”
Agama juga menjadi identitas yang (diharapkan) terus melekat pada diri seseorang bersama-nama dengan nama dan status seseorang. Saat berobat dan (terpaksa) menjadi pasien rawat inap sebuah rumah sakit ”beragama” di Jakarta, setelah menanyakan nama dan status perkawinan saya, sang juru rawat bertanya, ”Agamanya apa?”
Saya yang tak melihat adanya korelasi antara penyakit yang diderita dengan kepercayaan yang dipeluk seseorang mendapatkan sedikit petunjuk mengapa pertanyaan tersebut diajukan. Rupa-rupanya disediakan para penyiram rohani yang akan mendatangi pasien-pasien yang membutuhkan. Apakah kedatangan para juru selamat tersebut pada akhirnya berdampak baik atau buruk bagi si pasien? Entahlah. Yang jelas saya lebih membutuhkan ketenangan dengan tidur dibanding mendengarkan khotbah.
Fikiran kotor juga kerap muncul, bagaimana ya kira-kira reaksi orang-orang bila saya bilang di KTP saya tertulis Islam, tapi saya kerap ikut misa di gereja dan sembahyang di klenteng? Apakah saya termasuk dalam kelompok Islam beraliran sesat? Apakah saya telah melakukan perbuatan syirik dengan menyembah tuhan selain dari tuhan yang telah diajarkan pada saya sejak saya mengenal huruf dan aksara?
Ah, tapi saya (mencoba berapologi) tak sedikitpun merasa berdosa saat pergi ke tempat-tempat ibadat itu. Sangat excited malah. Tak ada suara-suara berisik dalam diri saya yang terus mengingatkan seperti bila saya harus melakukan sesuatu yang bertentangan dengan nurani saya.
Buat saya, pertanyaan hakiki yang layak muncul berkaitan dengan perilaku “sinkritisme suka-suka” saya dalam beragama adalah; ”Apakah tuhan-tuhan yang telah saya kunjungi di klenteng, gereja-gereja dan katedral, mushalla dan mesjid-mesjid itu adalah tuhan yang berbeda?”
(Hm, saya belum punya kesempatan mengunjungi sinagoge. Kalau ada tawaran untuk bisa pergi langsung ke Jerussalem dan ikut merintih di tembok ratapan, boleh juga.. :))
Pertanyaan hakiki lainnya berkaitan dengan agama seperti yang pernah diajukan seorang teman suatu ketika. Saat kami terjebak dalam kemacetan lalu lintas sementara Jakarta dihantam hujan badai. Setelah ngobrol ngalor-ngidul dan selingan sumpah serapah mengutuk kemacetan yang makin menggila, tiba-tiba ia bertanya, ”Sebenarnya apa sih fungsi agama?”
Sebuah pertanyaan klasik. Nietzsche telah melakukannya dengan membuat metafora orang gila yang berlari-lari di tengah pasar dengan obor di tangan untuk mencari (dan membunuh) Tuhan. Atau Marx yang mengkritik agama sebagai wahana alienasi manusia dan alat penindas dari penguasa.
”Kalau cuma untuk melarang orang untuk tidak mencuri, membunuh atau berlaku kriminal lainnya, tak perlu agama dong.. Itu kan sudah jadi ketentuan universal. Secara manusiawi pasti ada batasan bagi orang untuk bertindak yang merugikan hidup orang lain..” Teman saya melanjutkan gugatannya.
Saya mengiyakan saja. Sementara pikiran saya mengawang-awang. Teringat catatan pinggir Goenawan Mohammad suatu ketika. Saat ia mengutip Kant untuk mengulas pertanyaan yang kurang lebih sama seperti yang diajukan teman saya.
”Apa guna Tuhan?”
Lamunan saya juga sampai pada deretan huruf yang pernah dipakai untuk kampanye salah satu kelompok kerukunan antar umat beragama.
”Tuhan agama mu apa?”
Terhadap pertanyaan-pertanyaan tersebut (demi Allah) saya tak punya jawaban pasti.. :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar