Judul Buku :
" SHALAT TUJUH WAKTU "
(Dalam Kristen Orthodoks Syria)
Oleh : BAMBANG NOORSENA
Penerbit : STUDIA SYRIACA ORTHODOXIA,
Makalah untuk Forum Kajian Islam-Kristen II di Candi Prambanan Room, Hotel Sahid Jaya – Jakarta, 24 September 1999
Shalat dalam Kristen jarang diketahui, khususnya dalam hidup kekristenan di Indonesia. Buku ini cukup menarik dalam membeberkan Shalat-shalat milik kekristenan. Shalat yang dilakukan di gereja-gereja Arab, kalau di Gereja Katolik namanya Brevir atau De Liturgia Horanum. Fakta bahwa seluruh Gereja-gereja di Timur masih melaksanakan Shalat Tujuh Waktu (As-Sab’u ash-Shalawat) dengan jelas dicatat Aziz S Atiya (hal. 1).
Dalam gereja-gereja Orthodoks jam-jam shalat (Arami: ‘iddana tselota; Arab: sa’atush shalat) ini masih dipertahankan tanpa putus sebagai doa-doa baik kaum imam (klerus) maupun untuk ummat (awam). {hal. 2}
Khidmat al-Quddus dan Shalat : (hal. 3-7)
Dalam teks Peshitta (Aramaic, pen.) untuk Kis 2:42 berbunyi: ‘Mereka bertekun dalam pengajaran para Rasul dan dalam persekutuan. Dan mereka selalu menjalankan shalat-shalat dan merayakan Ekaristi’. Dua corak ibadah ini merupakan penggenapan dari kedua corak ibadah Yahudi: Mahzor dan Siddur. Mahzor, ialah perayaan besar yang diselenggarakan 3 kali dalam setahun di kota suci Yerusalem. Kata yang diterjemahkan "perayaan", dalam bahasa Ibrani: Hag (yang seakar dengan kata Arab: Hajj ).
Ketujuh ibadah sakramental, khususnya ‘Qurbana de Qaddisa’ (Ekaristi/Perjamuan Kudus) yang meneruskan ibadah Hag, maupun Shalat tujuh waktu non-sakramental, dapat dilacak asal-usulnya dari Siddur Yahudi.
Term Tselota, Shalat dan Shalawat : (hal 7-10)
Kata Arab shalat ternyata berasal dari bahasa Arami Tselota. Contoh kata ini misalnya terdapat pada Kis 2:42 dalam teks Arami/Syriac : "waminin hu bsyulfana dshliha wmishtautfin hwo batselota wbaqtsaya deukaristiya" (terjemahan lihat atas!). Dalam Alkitab bahasa Arab, kedua ibadah itu disebut: ‘kasril khubzi wa shalawat’ (memecah-mecahkan roti dan melaksanakan shalat-shalat).
Kata Arami Tselota merupakan nomen actionis, yang berarti "ruku’ atau perbuatan membungkukkan badan". Dari bentuk kata Tselota inilah, bahasa Arab melestarikannya menjadi kata Shalat.
Selanjutnya, Mar Ignatius Ya’qub III menekankan bahwa orang Kristen hanya "melanjutkan adab yang dilakukan orang-orang Yahudi dan bangsa Timur lainnya ketika memuji Allah dalam praktek ibadah mereka" (taba’an lamma kana yaf’alahu al-Yahudi wa ghayrihim fii al-syariq fii atsna’ mumarasatihim al ‘ibadah). Dan perlu dicatat bahwa, "pola ibadah ini telah dilestarikan pula oleh ummat Muslimin" (wa qad iqtabasa al-Muslimun aidhan buduruhum hadza al-naun min al ‘ibadah).
Selain dari itu, gereja mula-mula juga meneruskan adab ‘Tilawat Muzamir’ (yaitu bagian-bagian Kitab Zabur/Mazmur) dan shalat-shalat yang ditentukan pada jam-jam ini (wa qad akhadzat ba’dha al-Kana’is ‘an Yahudu tilawat Muzamir wa shalawat mu’ayyanat fii hadzihis sa’ah).
Kiblat Shalat : (hal. 13-16)
Alkitab mencatat kebiasaan nabi Daniel berkiblat "ke arah Yerusalem, tiga kali sehari ia berlutut dengan kakinya (ruku’) mengerjakan shalat" (Dan 6:11, dalam bahasa Arami: "negel Yerusyalem, we zimnin talatah be Yoma hu barek ‘al birkohi ume Tsela" ).
Seluruh ummat Yahudi sampai sekarang berdoa dengan menghadap ke Baitul Maqdis (Ibrani: Beyt ham-Miqdash), di kota suci Yerusalem. Sinagoge-sinagoge Yahudi di luar Tanah Suci mempunyai arah kiblat (Ibrani: Mizrah) ke Yerusalem. Kebiasaan ini diikuti oleh ummat Kristen mula-mula, tetapi mulai berkembang beberapa saat setelah tentara Romawi menghancurkan Bait Allah di Yerusalem pada tahun 70 M.
Kehancuran Bait Allah membuat arah kiblat shalat Kristen menjadi ke arah Timur, berdasarkan Yoh 4:21, Kej 2:8, Yeh 43:2 dan Yeh 44:1. Kiblat ibadah ke arah Timur ini masih dilestarikan di seluruh gereja Timur, baik gereja-gereja Orthodoks yang berhaluan Kalsedonia (Yunani), gereja-gereja Orthodoks non-Kalsedonia (Qibtiy/Coptic dan Syria), maupun minoritas gereja-gereja Nestoria yang masih bertahan di Irak.
Makna Teologis Ketujuh Waktu Shalat : (hal. 16-22)
L E Philips, berdasarkan penelitian arkeologisnya menulis bahwa ummat Kristiani paling awal sudah melaksanakan daily prayers (shalat) pada waktu pagi, tengah hari, malam dan tengah malam.
Ketujuh Shalat dalam gereja purba, yang penyusunannya didasarkan hitungan waktu Yahudi kuno itu, antara lain :
· Shalat Sa’at al-Awwal
Shalat jam pertama, kira-kira pukul 06.00 pagi, disebut juga Shalat Subuh dalam gereja Syria, atau Shalat Bakir (Shalat bangun tidur) dalam gereja Coptic. Dalam Gereja Barat (Katolik) disebut Laudes matutinae (pujian pagi).
· Shalat Sa’at ats-Tsalitsah
Latin: Hora Tertia, "Shalat jam ketiga", jatuh kira-kira sejajar dengan pukul 09.00 pagi, sebanding dengan Shalat Dhuha’ dalam Islam. Shalat pada jam ketiga ini, karena memperingati pengadilan Pilatus atas Al-Masih (Mrk 15:25), dan turunnya Ruh Kudus atas para muridNya (Kis 2:15).
· Shalat Sa’at as-Sadisah
Latin: Hora Sixta, "Shalat jam keenam", yang bertepatan pada jam 12.00 siang. Rasul Petrus pun telah melaksanakannya (Kis 10:9), bahkan raja Daud juga sudah mengenal shalat tengah hari (Ibrani: "Tsohorayim" ). Waktu shalat ini dapat sejajar dengan Shalat Dhuhr dalam Islam. Pada waktu inilah "Ia telah disalibkan" (Mrk 15:33).
· Shalat Sa’at at-Tasi’ah
Latin: Hora Nona, "Shalat jam kesembilan", kira-kira pukul tiga petang menurut hitungan modern (15.00), atau sejajar dengan Shalat ‘Asyar dalam Islam. Rasul-rasul dengan tekun mengikuti Shalat yang dikenal orang Yahudi sebagai Minhah (Kis 3:1, 10:30). Dalam Lukas 23:44-46 dikisahkan bahwa kegelapan meliputi seluruh daerah itu, dan tirai Baitul Maqdis terbelah dua, lalu Ia menyerahkan nyawaNya.
· Shalat Sa’at al-Ghurub
Dalam Gereja Katolik dikenal dengan Verpers (ibadah sore/senja/Maghrib). Waktunya bersamaan dengan terbenamnya matahari, kira-kira pukul 06.00 petang menurut waktu kita. Shalat ini untuk mengingatkan kita pada diturunkannya tubuh Junjungan kita Al-Masih dari kayu salib, lalu dikafani dan dibaringkan serta diberi rempah-rempah (ruttabat hadza ash-shalatu tadkara li-nuzulu jasada as-sayid al-Masih min ‘ala ash-shalib wa takafiniyat wa wadha’ al-hanuthan ‘alaih ).
· Shalat al-Naum
Shalat al-Naum (‘saat berangkat tidur’), kira-kira sejajar dengan shalat ‘Isya dalam Islam. Gereja Katolik menyebut shalat ini Vigil (Latin: Vigiliae, "tirakatan"). Tradisi liturgis Kristiani menghubungkan shalat malam ini "untuk mengingat berbaringnya Junjungan kita al-Masih dalam kubur" (ruttabat tadzkara li-wadla’a as-sayid al-Masih fi al-qubr ).
· Shalat as-Satar
Shalat tengah malam (penutup) ini, disebut dalam gereja-gereja kuno dengan berbagai nama: Shalat Lail (Shalat malam), Shalat Satar ("Pray of Veil", Shalat Penutup), atau Shalat Sa’at Hajib Dhulmat (Shalat berjaga waktu malam gelap). Dalam bahasa Arami/Suryani dikenal dengan istilah Tselota Shahra (Shalat waktu berjaga). [bnd. Why 16:15, Kis 16:25].
Shalat Tujuh Waktu dan Perkembangannya dalam Gereja Barat : (hal. 23-26)
Karena kekristenan bukanlah agama yuridis, seperti Yahudi, sehingga konsep shalat bukanlah semata-mata dipandang sebagai syari’ah, melainkan lebih berlandaskan pada keinsyafan batin, sebagai ucapan syukur karena penebusan Allah melalui jalan syuhada’ (martyr) Al-Masih.
Pada zaman dahulu, Gereja Barat (Katolik dan Protestan klasik) masih mengamalkan ketujuh waktu shalat yang dalam bahasa Latin disebut: ‘De Liturgia Horanum’. Dalam bukunya The Small Cathechism, Martin Luther masih mengikuti dua pola sembahyang ini. Kendati Luther melakukannya dengan beberapa revisi, tetapi banyak ‘adab berdoa kuno masih dipertahankan, misalnya membuat ‘tanda salib’ yang dikenal seluruh Gereja Purba.
Akibat pengaruh Liberalisme dan Individuisme yang muncul di Eropa bersamaan dengan era Reformasi Protestan, bukan saja waktu-waktu Shalat yang dihapuskan, malahan ada kecenderungan kuat pada kekristenan kontemporer untuk menolak doa yang dirumuskan, meskipun terbukti kata-kata dalam doa tersebut telah dikuduskan oleh pola ibadah sepanjang abad.
Terakhir, perlu kita merenungkan penyesalan E H van OLST, seorang teolog Calvinis dari Belanda :
"Pelecehan terhadap doa yang dirumuskan, sebagaimana kadang-kadang terjadi di lingkungan Kristen, tidak memiliki dasar dalam Alkitab dan tradisi, tetapi merupakan suatu produk dari subyektivisme dan individualisme modern" (hal. 25-26).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar