Oleh: Lintang Wetan
Sampai pertengahan abad ke 12 orang-orang Barat belum mengenal filsafat Aristoteles secara keseluruhan, Scholastik Islam-lah yang membawa perkembangan filsafat di Barat. Orang-orang Barat mengenal Aristoteles adalah berkat tulisan dari para ahli pikir Islam terutama dari Ibnu Rusyd. Adapun yang dimaksud dengan ahli pikir Islam (periode Scholastik Islam) yaitu: Al-Kindi, Al-Farabi, Ibnu Sina, Al-Ghazali, Ibnu Rusyd dan lainnya.
Para ahli pikir Islam sebagian menganggap bahwa filsafat Aristoteles adalah benar, Plato dan Al-Quran adalah benar, mereka mengadakan perpaduan sinkretisme antara agama dan filsafat. Pemikiran-pemikiran tersebut kemudian masuk Eropa yang merupakan sumbangan Islam paling besar.
1. Al-Kindi (801 – 865 M)
Nama lengkapnya Abu Yusuf Ya’kub Ibn Ishak Ibn Ahabah Ibn Umron Ibn Ismail Ibn Muhammad Ibn Al Ibn Qais Al-Kindi. Al-Kindi disamping ahli dalam Ilmu Agama, juga ahli dalam ilmu kedokteran, filsafat, matematika, logika, penggubah lagu, geometri, arithmatika, fisiologi, dan astronomi. Al-Kindi adalah orang pertama yang memasukkan filsafat sebagai salah satu ilmu ke-Islaman, setelah ia menyesuaikannya dengan Islam.
Pokok-pokok filsafatnya sebagai berikut:
(a) Tentang Filsafat
Agama dan filsafat masing-masing mencari kebenaran. Tujuan agama menerangkan apa yang benar dan apa yang baik, filsafat itu pula tujuannya. Agama disamping wahyu juga menggunakan akal dan filsafat juga menggunakan akal. Filsafat yang paling tinggi dan paling mulia adalah filsafat utama (metafisika), yakni mengetahui kebenaran pertama yang merupakan sebab dari segala kebenaran. Maha Satu Yang Maha Benar, ialah yang pertama, yang mencipta dan menguasai semua yang diciptakan-Nya.
(b) Filsafat Metafisika
Dalam metafisika, Al-Kindi pada umumnya meyetujui pendapat Aristoteles dan Neo-Platinisme, kecuali dalam dua hal yang prinsip yaitu tentang “keabadian ciptaan” dan tentang “tidak mungkinnya tiada melahirkan ada” (nothing can come from nothing). Dalam hal tersebut Al-Kindi tetap pada prinsip Teologi Islam bahwa semua diciptakan Tuhan dan Tuhan di atas ketentuan hukum alam. Alam bukanlah qodim (kekal di jaman lampau), tetapi mempunyai permulaan.
(c) Soal Kenabian
Al-Kindi berpendapat bahwa apa yang telah dicapai oleh para Nabi adalah derajat pengetahuan yang tertinggi yang dapat dicapai oleh manusia. Sedangkan Nabi dapat mencapainya di atas kesanggupan manusia biasa.
(d) Tentang Pengetahuan
Al-Kindi membagi pengetahuan menjadi dua:
1) Pengetahuan Ilahiyah sebagaimana tercantum dalam Al-Quran
Pengetahuan ini diterima Nabi dari Tuhan. Dasar pengetahuan ini adalah keyakinan.
2) Pengetahuan Insaniyah (Pikiran)
Kebenaran yang di bawah Al-Quran lebih meyakinkan daripada filsafat, tetapi Al-Quran dan filsafat tidak bertentangan.
2. Al-Farabi (870 – 950 M)
Nama lengkapnya Abu Nasher Mohammad Ibnu Mohammad Ibn Anzalq Ibn Turchan Al-Farabi. Lahir di Farab Turkistan. Ia digelari sebagai Al-Muallimuts-tsani (guru kedua) dalam ilmu filsafat sesudah Aristoteles. Al-Farabi juga ahli matematika dan ahli musik. Adapun pokok-pokok filsafatnya sebagai berikut:
(a) Metafisika Al-Fabari
Definisi filsafat menurutnya adalah: “Al-Ilmu bil Maujudat bima Hiya Al-Maujudat” (ilmu yang menyelidiki hakikat yang sebenarnya dari segala yang ada). Al-Farabi sependapat dengan Plato bahwa alam ini adalah baru, terjadi dari tiada. Tentang terjadinya alam Al-Farabi menyetujui teori emanasi Platinus, namun teorinya lebih terperinci lagi.
Tuhan sebagai akal murni adalah wujud pertama. Selanjutnya tingkat ujud adalah sebagai berikut: ujud yang terrendah adalah materi yang abstrak; tingkat yang lebih tinggi dari itu ialah ketika materi itu menerima bentuk: pertama sebagai unsur-unsur empat: air, tanah, api, wujud mineral: emas, perak, besi, tembaga dan sebagainya; tingkat lebih tinggi lagi ialah wujud tumbuh-tumbuhan yang diaktualkan oleh jiwa sensitif; dan akhirnya sampailah ke tingkat yang lebih tinggi yaitu bentuk wujud manusia yang diaktualkan oleh daya berpikir aktual (Al-Aqlu bil Fi’li). Jadi perpautan antara Al-Khalik dengan makhluk melalui perpautan antara akal kesepuluh (Al-Aqlul Faal) dengan materi-materi yang masih merupakan kemungkinan-kemungkinan sehingga menjadi ujud yang berbentuk nyata.
(b) Filsafat Kenegaraan
Al-Farabi telah menulis sebuah buku mengenai kenegaraan dengan judul Arou Ahlil Madinatil Fadilah. Al-Farabi membagi masyarakat ke dalam dua macam:
1) Masyarakat sempurna (madinah fadilah)
Adalah masyarakat yang mengandung keseimbangan di antara unsur-unsurnya, seperti keseimbangan yang ada dalam badan manusia.
2) Masyarakat tidak sempurna
Yaitu negara yang tidak baik yang dibagi menjadi dua macam, yaitu negara fasik dan negara bodoh. Negara fasik ialah yang anggota-anggotanya berpengetahuan sama dengan anggota madinah fadilah, tetapi kelakuannya seperti anggota negara bodoh. Sedangkan negara bodoh ialah yang anggota-anggotanya hanya mencari kesenangan jasmani saja.
Selanjutnya mengenai etika kenegaraan, Al-Farabi mengemukakan teori bahwa tiap keadaan tentu ada unsur-unsur pertentangan. Sama seperti seperti alam hewani, yang kuat menindas yang lemah. Dalam politik kenegaraan orang harus mengambil teladan tabiat hewani itu, sebab keadilan baru bisa dilaksanakan bila kita dalam kemenangan. Dalam hal ini Al-Farabi memebrikan contoh tentang hubungan perjanjian yang dilakukan oleh manusia. Itu terjadi karena adanya faktor kelemahan pada masing-masing anggota yang bersangkutan.
3. Ibnu Sina (980 – 1037 M)
Nama lengkapnya ialah Abu Ali Husain Ibn Abdillah Ibu Sina. Di barat lebih dikenal dengan nama Avicenna. Bangsa Turki, Arab dan Persia mengakui bahwa Ibnu Sina berkebangsaan mereka. Ia dilahirkan pada tahun 980 M di Bukhara. Ibunya memang berkebangsaan turki sedang ayahnya mungkin berkebangsaan peranakan Arab-Persia-Turki.
Selain dikenal sebagai ahli di bidang filsafat, ia juga dikenal sebagai ahli kedokteran. Dalam bidang filsafat ia menulis dalam bukunya Al-Syifa’ yang memuat 4 bagian: logika, ilmu alam, ilmu pasti dan ilmu Ketuhanan. Buku tersebut diringkasnya dalam sebuah buku Al-Najat.
Di bidang kedokteran ia menulis dalam bukunya berjudul Al-Qanun yang meliputi semua yang bertalian dengan ilmu kedokteran seperti fisiologi, anatomi, dan pengobatan. Ibnu Sina mengatakan bahwa Tuhan adalah Al-Aqlu (Akal). Ia memikirkan dirinya dirinya lalu memikirkan sesuatu di luar dirinya menyebabkan timbulnya akal lain yang dinamakan Akal Pertama (Al-Aqlu Awwal). Ketika Akal Pertama berpikir mengeluarkan Akal Kedua, disamping itu juga mengeluarkan dua wujud lain yaitu yang disebutnya Jirmul Falakil Aqso yaitu langit dan semua planet-planetnya dan Nafsu Falakil Aqso yaitu jiwa dari planet-planet tersebut.
Jadi menurut Ibnu Sina, Akal itu menimbulkan tiga ujud (tidak dua seperti Al-Farabi) yaitu: Akal, jarim langit dan planet-planetnya dan jiwa langit dan planet-planetnya. Jadi falak (langit) menurut Ibnu Sina mempunyai jiwa (nafs) yang menggerakkan dan mempunyai akal yang mengaturnya.
4. Al-Ghazali
Nama lengkapnya ialah Abu Hamid Mohammad Al Ghazali, lahir di Ghazaleh, suatu kota kecil dekat Tus di Khurasan. Dalam diri Al-Ghazali mula-mula agak syak terhadap pelajaran Ilmu Kalam yang diterimanya dari Al-Juwaini. Sebab diketahuinya bahwa dalam Ilmu Kalam terdapat beberapa aliran yang saling bertentangan. Timbullah pertanyaan dalam dirinya aliran manakah yang betul-betul benar di antara semua aliran itu.
Al-Ghazali dalam bukunya ”Al-Munkidz minal dhalal” menyatakan ingin mencari kebenaran yang sebenarnya, yaitu kebenaran yang diyakini betul-betul merupakan kebenaran, seperti kebenaran bahwa sepuluh itu lebih banyak dari tiga.
Kritiknya terhadap Filosuf-filosuf
Al-Ghazali setelah mempelajari baik dari filsafat Yunani maupun Islam, mendapatkan kenyataan bahwa argumen-argumen yang mereka ajukan tidak kuat, bahkan banyak yang bertentangan dengan ajaran Islam. Akhirnya ia menentang terhadap filsafat. Untuk itu ia mengarang buku berjudul Maqosidul Falsafah dan buku Tahafutul Falsafah (kekacauan pemikiran para filosuf). Akhirnya ia memperoleh yang dicarinya pada tasawuf. Tasawuflah yang dapat menhilangkan rasa syak yang lama mengganggunya. Dalam tasawuf ia memperoleh keyakinan yang dicarinya.
Filsafat Al-Ghazali
Sebagian orang menganggap bahwa Al-Ghazali bukan filosuf tetapi semata-mata ahli tasawuf, dengan alasan karena Al-Ghazali menyerang argumen filosuf baik dari Yunani maupun filosuf Islam. Apa yang dinamakan tasawuf sebenarnya mempunyai ciri khas. Berbeda dengan mistik atau tasawuf pada umumnya yang hanya mengutamakan rasa daripada pikiran, tasawuf Al-Ghazali pada umumnya faktor pikiran lebih tampak daripada perasaan. Di sini nampak bahwa filsafat Al-Ghazali lebih Islami daripada filsafat-filsafat lainnya.
Al-Ghazali dalam bukunya Tahafutul Falsafah menyerang argumen filsafat para filosuf Yunani dan filosuf Islam, di antaranya:
(a) Al-Ghazali menyerang dalil filsafat Aristoteles tentang azalinya alam. Dengan tegas ia katakan bahwa alam berasal dari tidak ada menjadi ada (creatio ex nihilo), sebab diciptakan oleh Tuhan. Dan kalau dikatakan bahwa alam tidak bermula, itu namanya bukan ciptaan Tuhan jadi bukan Pencipta, sedang Al-Quran menyebut bahwa Tuhan pencipta segala-galanya.
(b) Al-Ghazali juga menentang pendapat ahli filsafat bahwa segala sesuatu terjadi dengan kepastian sebab akibat semata-mata dan mustahil adanya penyimpangan-penyimpangan. Bahwa segala kejadian hanyalah merupakan kebiasaan atau adat semata-mata dan bukan merupakan kepastian.
5. Ibnu Rusyd
Nama lengkapnya ialah Abul Walid Muhammad Ibn Muhammad Ibn Rusyd, juga seorang ahli hukum dan tabib. Di Barat dikenal dengan sebutan Averroes, dan dialah filosuf Islam yang paling terkenal dan paling berpengaruh di Eropa. Terutama terhadap Scholatik Latin lebih besar pengaruhnya daripada Ibnu Sina (Avicena). Eropa dapat mengenal Islam lebih banyak adalah berkat karangan Ibnu Rusyd.
Di dunia Islam sendiri Ibnu Rusyd lebih dikenal sebagai seorang filosuf yang menentang Al-Ghazali. Bukunya yang khusus menentang pendapat Al-Ghazali bernama Tahafutut-tahafut adalah reaksi terhadap buku Al-Ghazali yang berjudul Tahafut-falasifah.
Dalam bukunya itu Ibnu Rusyd membela pendapat-pendapat filosuf Yunani dan Islam yang telah diserang oleh Al-Ghazali. Segala dalil-dalil yang dikemukakan Al-Ghazali, Ibnu Rusyd lebih mementingkan akal pikiran daripada perasaan. Segala persoalan agama Islam baginya harus dipecahkan dengan kekuatan akal pikiran. Dalam mempelajari agama harus digunakan logika. Tetapi ia juga mengkritik tentang kelemahan akal manusia dalam memecahkan masalah gaib dan aneh yang berhubungan dengan agama.
Filsafat Ibnu Rusyd
Ada beberapa problem filsafat Ibnu Rusyd yang menarik perhatian umum ialah :
Sesuatu yang diketahui Tuhan itu menjadi sebab untuk adanya pengetahuan Tuhan. Jadi kalau Tuhan mengetahui hal-hal yang kecil, maka itu berarti bahwa pengetahuan Tuhan itu disebabkan oleh hal-hal yang kurang sempurna dari-Nya. Dan ini adalah tidak wajar. Maka sudah seharusnya bahwa Tuhan tidak mengetahui selain zat-Nya sendiri.
Aristoteles menggambarkan Tuhan itu sebagai kehidupan yang abadi, sempurna dari segala jurusan dan sudah puas dengan kesempurnaan zat-Nya sendiri. Dalam pembelaan terhadap pendapat Aristoteles dan filosuf-filosuf lainnya, Ibnu Rusyd mengatakan bahwa mereka yang mendakwa ahli-ahli filsafat memungkiri pengetahuan Tuhan tentang juziyat sebagaimana pengetahuan yang dicapai oleh orang-orang biasa.
Ibnu Rusyd berpendapat bahwa alam adalah azali. Jadi ada dua yang azali yaitu Tuhan dan alam. Namun keazalian Tuhan lebih utama daripada keazalian alam. Argumen yang dikemukakan ialah, seandainya alam tidak azali, ada permulaannya, maka habislah alam ini (baru). Dan setiap yang baru pasti ada yang menjadikannya. Dan yang menjadikan ini haruslah ada yang menjadikannya pula. Demikian berturut-turut tak habis-habisnya. Padahal keadaan yang berantai demikian tak ada habis-habisnya adalah tidak dapat diterima akal. Jadi pastilah bila alam ini habis.
Para ahli pikir Islam sebagian menganggap bahwa filsafat Aristoteles adalah benar, Plato dan Al-Quran adalah benar, mereka mengadakan perpaduan sinkretisme antara agama dan filsafat. Pemikiran-pemikiran tersebut kemudian masuk Eropa yang merupakan sumbangan Islam paling besar.
1. Al-Kindi (801 – 865 M)
Nama lengkapnya Abu Yusuf Ya’kub Ibn Ishak Ibn Ahabah Ibn Umron Ibn Ismail Ibn Muhammad Ibn Al Ibn Qais Al-Kindi. Al-Kindi disamping ahli dalam Ilmu Agama, juga ahli dalam ilmu kedokteran, filsafat, matematika, logika, penggubah lagu, geometri, arithmatika, fisiologi, dan astronomi. Al-Kindi adalah orang pertama yang memasukkan filsafat sebagai salah satu ilmu ke-Islaman, setelah ia menyesuaikannya dengan Islam.
Pokok-pokok filsafatnya sebagai berikut:
(a) Tentang Filsafat
Agama dan filsafat masing-masing mencari kebenaran. Tujuan agama menerangkan apa yang benar dan apa yang baik, filsafat itu pula tujuannya. Agama disamping wahyu juga menggunakan akal dan filsafat juga menggunakan akal. Filsafat yang paling tinggi dan paling mulia adalah filsafat utama (metafisika), yakni mengetahui kebenaran pertama yang merupakan sebab dari segala kebenaran. Maha Satu Yang Maha Benar, ialah yang pertama, yang mencipta dan menguasai semua yang diciptakan-Nya.
(b) Filsafat Metafisika
Dalam metafisika, Al-Kindi pada umumnya meyetujui pendapat Aristoteles dan Neo-Platinisme, kecuali dalam dua hal yang prinsip yaitu tentang “keabadian ciptaan” dan tentang “tidak mungkinnya tiada melahirkan ada” (nothing can come from nothing). Dalam hal tersebut Al-Kindi tetap pada prinsip Teologi Islam bahwa semua diciptakan Tuhan dan Tuhan di atas ketentuan hukum alam. Alam bukanlah qodim (kekal di jaman lampau), tetapi mempunyai permulaan.
(c) Soal Kenabian
Al-Kindi berpendapat bahwa apa yang telah dicapai oleh para Nabi adalah derajat pengetahuan yang tertinggi yang dapat dicapai oleh manusia. Sedangkan Nabi dapat mencapainya di atas kesanggupan manusia biasa.
(d) Tentang Pengetahuan
Al-Kindi membagi pengetahuan menjadi dua:
1) Pengetahuan Ilahiyah sebagaimana tercantum dalam Al-Quran
Pengetahuan ini diterima Nabi dari Tuhan. Dasar pengetahuan ini adalah keyakinan.
2) Pengetahuan Insaniyah (Pikiran)
Kebenaran yang di bawah Al-Quran lebih meyakinkan daripada filsafat, tetapi Al-Quran dan filsafat tidak bertentangan.
2. Al-Farabi (870 – 950 M)
Nama lengkapnya Abu Nasher Mohammad Ibnu Mohammad Ibn Anzalq Ibn Turchan Al-Farabi. Lahir di Farab Turkistan. Ia digelari sebagai Al-Muallimuts-tsani (guru kedua) dalam ilmu filsafat sesudah Aristoteles. Al-Farabi juga ahli matematika dan ahli musik. Adapun pokok-pokok filsafatnya sebagai berikut:
(a) Metafisika Al-Fabari
Definisi filsafat menurutnya adalah: “Al-Ilmu bil Maujudat bima Hiya Al-Maujudat” (ilmu yang menyelidiki hakikat yang sebenarnya dari segala yang ada). Al-Farabi sependapat dengan Plato bahwa alam ini adalah baru, terjadi dari tiada. Tentang terjadinya alam Al-Farabi menyetujui teori emanasi Platinus, namun teorinya lebih terperinci lagi.
Tuhan sebagai akal murni adalah wujud pertama. Selanjutnya tingkat ujud adalah sebagai berikut: ujud yang terrendah adalah materi yang abstrak; tingkat yang lebih tinggi dari itu ialah ketika materi itu menerima bentuk: pertama sebagai unsur-unsur empat: air, tanah, api, wujud mineral: emas, perak, besi, tembaga dan sebagainya; tingkat lebih tinggi lagi ialah wujud tumbuh-tumbuhan yang diaktualkan oleh jiwa sensitif; dan akhirnya sampailah ke tingkat yang lebih tinggi yaitu bentuk wujud manusia yang diaktualkan oleh daya berpikir aktual (Al-Aqlu bil Fi’li). Jadi perpautan antara Al-Khalik dengan makhluk melalui perpautan antara akal kesepuluh (Al-Aqlul Faal) dengan materi-materi yang masih merupakan kemungkinan-kemungkinan sehingga menjadi ujud yang berbentuk nyata.
(b) Filsafat Kenegaraan
Al-Farabi telah menulis sebuah buku mengenai kenegaraan dengan judul Arou Ahlil Madinatil Fadilah. Al-Farabi membagi masyarakat ke dalam dua macam:
1) Masyarakat sempurna (madinah fadilah)
Adalah masyarakat yang mengandung keseimbangan di antara unsur-unsurnya, seperti keseimbangan yang ada dalam badan manusia.
2) Masyarakat tidak sempurna
Yaitu negara yang tidak baik yang dibagi menjadi dua macam, yaitu negara fasik dan negara bodoh. Negara fasik ialah yang anggota-anggotanya berpengetahuan sama dengan anggota madinah fadilah, tetapi kelakuannya seperti anggota negara bodoh. Sedangkan negara bodoh ialah yang anggota-anggotanya hanya mencari kesenangan jasmani saja.
Selanjutnya mengenai etika kenegaraan, Al-Farabi mengemukakan teori bahwa tiap keadaan tentu ada unsur-unsur pertentangan. Sama seperti seperti alam hewani, yang kuat menindas yang lemah. Dalam politik kenegaraan orang harus mengambil teladan tabiat hewani itu, sebab keadilan baru bisa dilaksanakan bila kita dalam kemenangan. Dalam hal ini Al-Farabi memebrikan contoh tentang hubungan perjanjian yang dilakukan oleh manusia. Itu terjadi karena adanya faktor kelemahan pada masing-masing anggota yang bersangkutan.
3. Ibnu Sina (980 – 1037 M)
Nama lengkapnya ialah Abu Ali Husain Ibn Abdillah Ibu Sina. Di barat lebih dikenal dengan nama Avicenna. Bangsa Turki, Arab dan Persia mengakui bahwa Ibnu Sina berkebangsaan mereka. Ia dilahirkan pada tahun 980 M di Bukhara. Ibunya memang berkebangsaan turki sedang ayahnya mungkin berkebangsaan peranakan Arab-Persia-Turki.
Selain dikenal sebagai ahli di bidang filsafat, ia juga dikenal sebagai ahli kedokteran. Dalam bidang filsafat ia menulis dalam bukunya Al-Syifa’ yang memuat 4 bagian: logika, ilmu alam, ilmu pasti dan ilmu Ketuhanan. Buku tersebut diringkasnya dalam sebuah buku Al-Najat.
Di bidang kedokteran ia menulis dalam bukunya berjudul Al-Qanun yang meliputi semua yang bertalian dengan ilmu kedokteran seperti fisiologi, anatomi, dan pengobatan. Ibnu Sina mengatakan bahwa Tuhan adalah Al-Aqlu (Akal). Ia memikirkan dirinya dirinya lalu memikirkan sesuatu di luar dirinya menyebabkan timbulnya akal lain yang dinamakan Akal Pertama (Al-Aqlu Awwal). Ketika Akal Pertama berpikir mengeluarkan Akal Kedua, disamping itu juga mengeluarkan dua wujud lain yaitu yang disebutnya Jirmul Falakil Aqso yaitu langit dan semua planet-planetnya dan Nafsu Falakil Aqso yaitu jiwa dari planet-planet tersebut.
Jadi menurut Ibnu Sina, Akal itu menimbulkan tiga ujud (tidak dua seperti Al-Farabi) yaitu: Akal, jarim langit dan planet-planetnya dan jiwa langit dan planet-planetnya. Jadi falak (langit) menurut Ibnu Sina mempunyai jiwa (nafs) yang menggerakkan dan mempunyai akal yang mengaturnya.
4. Al-Ghazali
Nama lengkapnya ialah Abu Hamid Mohammad Al Ghazali, lahir di Ghazaleh, suatu kota kecil dekat Tus di Khurasan. Dalam diri Al-Ghazali mula-mula agak syak terhadap pelajaran Ilmu Kalam yang diterimanya dari Al-Juwaini. Sebab diketahuinya bahwa dalam Ilmu Kalam terdapat beberapa aliran yang saling bertentangan. Timbullah pertanyaan dalam dirinya aliran manakah yang betul-betul benar di antara semua aliran itu.
Al-Ghazali dalam bukunya ”Al-Munkidz minal dhalal” menyatakan ingin mencari kebenaran yang sebenarnya, yaitu kebenaran yang diyakini betul-betul merupakan kebenaran, seperti kebenaran bahwa sepuluh itu lebih banyak dari tiga.
Kritiknya terhadap Filosuf-filosuf
Al-Ghazali setelah mempelajari baik dari filsafat Yunani maupun Islam, mendapatkan kenyataan bahwa argumen-argumen yang mereka ajukan tidak kuat, bahkan banyak yang bertentangan dengan ajaran Islam. Akhirnya ia menentang terhadap filsafat. Untuk itu ia mengarang buku berjudul Maqosidul Falsafah dan buku Tahafutul Falsafah (kekacauan pemikiran para filosuf). Akhirnya ia memperoleh yang dicarinya pada tasawuf. Tasawuflah yang dapat menhilangkan rasa syak yang lama mengganggunya. Dalam tasawuf ia memperoleh keyakinan yang dicarinya.
Filsafat Al-Ghazali
Sebagian orang menganggap bahwa Al-Ghazali bukan filosuf tetapi semata-mata ahli tasawuf, dengan alasan karena Al-Ghazali menyerang argumen filosuf baik dari Yunani maupun filosuf Islam. Apa yang dinamakan tasawuf sebenarnya mempunyai ciri khas. Berbeda dengan mistik atau tasawuf pada umumnya yang hanya mengutamakan rasa daripada pikiran, tasawuf Al-Ghazali pada umumnya faktor pikiran lebih tampak daripada perasaan. Di sini nampak bahwa filsafat Al-Ghazali lebih Islami daripada filsafat-filsafat lainnya.
Al-Ghazali dalam bukunya Tahafutul Falsafah menyerang argumen filsafat para filosuf Yunani dan filosuf Islam, di antaranya:
(a) Al-Ghazali menyerang dalil filsafat Aristoteles tentang azalinya alam. Dengan tegas ia katakan bahwa alam berasal dari tidak ada menjadi ada (creatio ex nihilo), sebab diciptakan oleh Tuhan. Dan kalau dikatakan bahwa alam tidak bermula, itu namanya bukan ciptaan Tuhan jadi bukan Pencipta, sedang Al-Quran menyebut bahwa Tuhan pencipta segala-galanya.
(b) Al-Ghazali juga menentang pendapat ahli filsafat bahwa segala sesuatu terjadi dengan kepastian sebab akibat semata-mata dan mustahil adanya penyimpangan-penyimpangan. Bahwa segala kejadian hanyalah merupakan kebiasaan atau adat semata-mata dan bukan merupakan kepastian.
5. Ibnu Rusyd
Nama lengkapnya ialah Abul Walid Muhammad Ibn Muhammad Ibn Rusyd, juga seorang ahli hukum dan tabib. Di Barat dikenal dengan sebutan Averroes, dan dialah filosuf Islam yang paling terkenal dan paling berpengaruh di Eropa. Terutama terhadap Scholatik Latin lebih besar pengaruhnya daripada Ibnu Sina (Avicena). Eropa dapat mengenal Islam lebih banyak adalah berkat karangan Ibnu Rusyd.
Di dunia Islam sendiri Ibnu Rusyd lebih dikenal sebagai seorang filosuf yang menentang Al-Ghazali. Bukunya yang khusus menentang pendapat Al-Ghazali bernama Tahafutut-tahafut adalah reaksi terhadap buku Al-Ghazali yang berjudul Tahafut-falasifah.
Dalam bukunya itu Ibnu Rusyd membela pendapat-pendapat filosuf Yunani dan Islam yang telah diserang oleh Al-Ghazali. Segala dalil-dalil yang dikemukakan Al-Ghazali, Ibnu Rusyd lebih mementingkan akal pikiran daripada perasaan. Segala persoalan agama Islam baginya harus dipecahkan dengan kekuatan akal pikiran. Dalam mempelajari agama harus digunakan logika. Tetapi ia juga mengkritik tentang kelemahan akal manusia dalam memecahkan masalah gaib dan aneh yang berhubungan dengan agama.
Filsafat Ibnu Rusyd
Ada beberapa problem filsafat Ibnu Rusyd yang menarik perhatian umum ialah :
Sesuatu yang diketahui Tuhan itu menjadi sebab untuk adanya pengetahuan Tuhan. Jadi kalau Tuhan mengetahui hal-hal yang kecil, maka itu berarti bahwa pengetahuan Tuhan itu disebabkan oleh hal-hal yang kurang sempurna dari-Nya. Dan ini adalah tidak wajar. Maka sudah seharusnya bahwa Tuhan tidak mengetahui selain zat-Nya sendiri.
Aristoteles menggambarkan Tuhan itu sebagai kehidupan yang abadi, sempurna dari segala jurusan dan sudah puas dengan kesempurnaan zat-Nya sendiri. Dalam pembelaan terhadap pendapat Aristoteles dan filosuf-filosuf lainnya, Ibnu Rusyd mengatakan bahwa mereka yang mendakwa ahli-ahli filsafat memungkiri pengetahuan Tuhan tentang juziyat sebagaimana pengetahuan yang dicapai oleh orang-orang biasa.
Ibnu Rusyd berpendapat bahwa alam adalah azali. Jadi ada dua yang azali yaitu Tuhan dan alam. Namun keazalian Tuhan lebih utama daripada keazalian alam. Argumen yang dikemukakan ialah, seandainya alam tidak azali, ada permulaannya, maka habislah alam ini (baru). Dan setiap yang baru pasti ada yang menjadikannya. Dan yang menjadikan ini haruslah ada yang menjadikannya pula. Demikian berturut-turut tak habis-habisnya. Padahal keadaan yang berantai demikian tak ada habis-habisnya adalah tidak dapat diterima akal. Jadi pastilah bila alam ini habis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar