Oleh: Lintang Wetan
Kejadian bom bunuh diri di Gereja Kepunton Solo hari Minggu lalu (25/9/2011) adalah pertanda bagi kita untuk kesekian kalinya, betapa murahnya nyawa manusia di negeri ini. Betapa orang harus mati untuk hal-hal yang konyol dan tak bermakna. Betapa rasa kemanusiaan telah berlalu hingga demikian jauhnya dari sanubari insan anak negeri.
Dan seperti yang sudah-sudah, gereja selalu menjadi sasaran empuk bagi aksi-aksi terorisme laknat. Entah untuk alasan apa sehingga orang-orang kristen adalah target tembak yang pantas untuk dimusnahkan. Beberapa dari kita berkomentar ini dan itu, tentang apa penyebabnya, tentang pelakunya, tentang dampaknya, dan sebagainya. Tetapi kesemuanya itu tidak menafikkan kenyataan bahwa di hari-hari ini, gereja bukan lagi sebuah tempat ibadah yang aman bagi umat kristen. Apakah ini berlaku juga untuk tempat ibadah agama lain di negeri ini? Entah saya tak mampu menjawabnya.
Saya teringat tentang kisah-kisah perang di berbagai penjuru dunia, selalu ada saja kisah dimana gereja menjadi tempat pengungsian atau perlindungan yang aman dari serangan musuh, khususnya bagi warga sipil, orang tua, wanita dan anak-anak. Dalam etika perang, ada semacam aturan universal bahwa tempat ibadah adalah sakral dan oleh karenanya ia wajib dilindungi, bahkan oleh pihak musuh sekalipun. Dalam sejarah perang salib tentang penaklukan oleh khalifah Islam yang ternama, Sultan Saladin, atas laskar kristen di Yerusalem (1187), dikisahkan bahwa Saladin menghormati dan memelihara Gereja Makam Suci yang menjadi pusat ziarah umat kristen. Perang Salib adalah sejarah kelam perseteruan berdarah Islam-Kristen, tetapi nampak bahwa dalam masa kegelapan seperti itu, ternyata gereja masih mendapat penghormatan dan perlindungan.
Jika demikian adanya, maka peristiwa bom bunuh diri di gereja di Solo kemarin adalah peristiwa yang menandakan kondisi yang lebih buruk dari jaman Perang Salib. Tempat ibadah sudah tidak mendapatkan penghormatan yang semestinya dalam etika hidup sebagai manusia dan bangsa yang bermartabat.
Kita mengenal beberapa agama yang diakui di Indonesia dan hak beribadah di tempat-tempat ibadah penganutnya masing-masing. Tetapi secara statistik, kasus kejahatan dan perusakan tempat ibadah paling banyak terjadi pada gereja, selaku tempat ibadah umat kristen. Saya tidak tahu sejauh mana potensi ancaman bagi tempat ibadah agama lain. Mungkin juga akan sama di kemudian hari, tapi semoga saja tidak.Yang jelas, hari-hari ini umat kristen harus menyadari bahwa gereja bukan lagi tempat yang aman untuk beribadah. Kejadian serupa kemarin dapat terjadi secara sporadis di gereja manapun di negeri ini. Dan siapapun umat kristen berpeluang menjadi korban jiwa.
Sebagai spiritualis lintas agama, saya mencoba berempati betapa besarnya risiko beribadah di gereja hari-hari ini. Andaikan boleh saya menyarankan pada umat kristen, lebih baik beribadah sajalah di rumah masing-masing. Sayang nyawa sendiri, sayang nyawa keluarga. Tapi tentu tidak mungkin bagi saya menyarankan hal semacam ini. Kecuali mendorong umat kristen untuk menguatkan hati, melangkah maju dalam keimanan.
Wahai kawan kristiani, bila di suatu pagi di hari Minggu anda terjaga dan tersadar akan kewajiban ibadah di gereja. Maka bulatkan tekadmu, teguhkan imanmu. Panjatkan doa terakhir, ucapkan kata-kata terakhir, berikan ciuman terakhir. Sebab boleh jadi, hari itu adalah hari terakhirmu beribadah di gereja. Ayunkan kakimu dengan pasti, sepasti langkah Yesus turun dari Getsemani menghadapi hari kematiannya. Ikhlas, tanpa ragu dan takut.
(Tulisan ini semoga juga mengilhami iman para penganut agama lain, dan semoga kedamaian akan bertunas di bumi pertiwi)
Dan seperti yang sudah-sudah, gereja selalu menjadi sasaran empuk bagi aksi-aksi terorisme laknat. Entah untuk alasan apa sehingga orang-orang kristen adalah target tembak yang pantas untuk dimusnahkan. Beberapa dari kita berkomentar ini dan itu, tentang apa penyebabnya, tentang pelakunya, tentang dampaknya, dan sebagainya. Tetapi kesemuanya itu tidak menafikkan kenyataan bahwa di hari-hari ini, gereja bukan lagi sebuah tempat ibadah yang aman bagi umat kristen. Apakah ini berlaku juga untuk tempat ibadah agama lain di negeri ini? Entah saya tak mampu menjawabnya.
Saya teringat tentang kisah-kisah perang di berbagai penjuru dunia, selalu ada saja kisah dimana gereja menjadi tempat pengungsian atau perlindungan yang aman dari serangan musuh, khususnya bagi warga sipil, orang tua, wanita dan anak-anak. Dalam etika perang, ada semacam aturan universal bahwa tempat ibadah adalah sakral dan oleh karenanya ia wajib dilindungi, bahkan oleh pihak musuh sekalipun. Dalam sejarah perang salib tentang penaklukan oleh khalifah Islam yang ternama, Sultan Saladin, atas laskar kristen di Yerusalem (1187), dikisahkan bahwa Saladin menghormati dan memelihara Gereja Makam Suci yang menjadi pusat ziarah umat kristen. Perang Salib adalah sejarah kelam perseteruan berdarah Islam-Kristen, tetapi nampak bahwa dalam masa kegelapan seperti itu, ternyata gereja masih mendapat penghormatan dan perlindungan.
Jika demikian adanya, maka peristiwa bom bunuh diri di gereja di Solo kemarin adalah peristiwa yang menandakan kondisi yang lebih buruk dari jaman Perang Salib. Tempat ibadah sudah tidak mendapatkan penghormatan yang semestinya dalam etika hidup sebagai manusia dan bangsa yang bermartabat.
Kita mengenal beberapa agama yang diakui di Indonesia dan hak beribadah di tempat-tempat ibadah penganutnya masing-masing. Tetapi secara statistik, kasus kejahatan dan perusakan tempat ibadah paling banyak terjadi pada gereja, selaku tempat ibadah umat kristen. Saya tidak tahu sejauh mana potensi ancaman bagi tempat ibadah agama lain. Mungkin juga akan sama di kemudian hari, tapi semoga saja tidak.Yang jelas, hari-hari ini umat kristen harus menyadari bahwa gereja bukan lagi tempat yang aman untuk beribadah. Kejadian serupa kemarin dapat terjadi secara sporadis di gereja manapun di negeri ini. Dan siapapun umat kristen berpeluang menjadi korban jiwa.
Sebagai spiritualis lintas agama, saya mencoba berempati betapa besarnya risiko beribadah di gereja hari-hari ini. Andaikan boleh saya menyarankan pada umat kristen, lebih baik beribadah sajalah di rumah masing-masing. Sayang nyawa sendiri, sayang nyawa keluarga. Tapi tentu tidak mungkin bagi saya menyarankan hal semacam ini. Kecuali mendorong umat kristen untuk menguatkan hati, melangkah maju dalam keimanan.
Wahai kawan kristiani, bila di suatu pagi di hari Minggu anda terjaga dan tersadar akan kewajiban ibadah di gereja. Maka bulatkan tekadmu, teguhkan imanmu. Panjatkan doa terakhir, ucapkan kata-kata terakhir, berikan ciuman terakhir. Sebab boleh jadi, hari itu adalah hari terakhirmu beribadah di gereja. Ayunkan kakimu dengan pasti, sepasti langkah Yesus turun dari Getsemani menghadapi hari kematiannya. Ikhlas, tanpa ragu dan takut.
(Tulisan ini semoga juga mengilhami iman para penganut agama lain, dan semoga kedamaian akan bertunas di bumi pertiwi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar