Yohanes menyebut istilah “Logos”. Apakah logos itu? Logos adalah bahasa Yunani yang merujuk pada Idea atau Nilai. Filsuf Yunani seperti Socrates, Plato, dan Philo mendeskripsikan logos bukan dalam artian personifkasi tertentu, tetapi sebagai The Perfect Idea. Gampangnya "logos" merujuk pada segala sesuatu yang bernilai positif dan mulia. The Perfect Idea itu nyata, bukan angan-angan, bukan ide/gagasan dalam pikiran manusia. Idea adalah nilai ilahi, semacam Devine Cosciousness atau kesadaran ilahi yang kekal, mutlak, dan tetap adanya. Idea juga bermakna nilai yang universal. Setiap manusia memiliki "Idea" jauh dalam hati nuraninya yang terdalam (Richard D. McKirahan, Philosophy before Socrates, Hackett, 1994).
Sedangkan dalam tradisi ortodoks (The Jewish Encyclopedia, New York and London, 1904, p. 465 dan The Catholic Encyclopedia copyright 1907-1914, Robert Appleton Company), logos dipahami dalam istilah (Aramik) “Memra”, yang mengandung arti sama dengan istilah ”Logos” dalam bahasa Yunani, yaitu: Firman. Tetapi pemahaman ortodoks lebih menekankan bahwa “Memra” mengandung konsep “Inisiatif Idea” atau konsep tentang Allah yang mewujud. Allah yang dapat ditemui “face to face”.
Hal ini tampak dalam pembabaran injil Yohanes 1:14 “kai ho logos sarx egeneto kai eskênôsen en hêmin kai etheasametha tên doxan autou doxan hôs monogenous para patros plêrês kharitos kai alêtheias”. Artinya: “Firman itu telah menjadi daging (manusia), dan diam di antara kita, dan kita telah melihat kemuliaan-Nya, yaitu kemuliaan yang diberikan kepada-Nya sebagai Anak Tunggal Bapa, penuh kasih karunia dan kebenaran”.
Bila ditelusuri dalam khasanah tradisi Yahudi yang tertulis dalam Tannakh, maka akan ditemukan konsep teologi “Allah yang face to face” dari masa ke masa. Misalnya dalam Kitab Kejadian 32:30 yang mengisahkan Yakub bertemu Allah “face to face” di Pniel. Keluaran 3:2 yang mengisahkan Musa melihat Allah dalam wujud semak belukar yang menyala. Juga dalam Kitab Hakim-Hakim 6:22-23 yang mengisahkan Gideon menyaksikan Allah “face to face” dalam wujud malaikat. Dengan demikian konsep personifikasi Allah sudah lama ada dalam tradisi teologi Yahudi dan tradisi tersebut pulalah yang mendasari teologi kristen dalam mengimani Yesus sebagai “Memra”, Allah yang mewujud menjadi manusia.
Terlepas dari perbedaan pemahaman antara LOGOS PHILO dengan LOGOS MEMRA, maka sesungguhnya sama sekali tidak menggeser pesan bahwasannya penekanan sosok keilahian Yesus, bukanlah pada sosok artifisialnya atau sosok kemanusiannya, melainkan pada Idea yang ada di dalam Yesus. Ketika Yohanes menyatakan bahwa "Firman (Logos) itu telah menjadi daging", maka sesungguhnya penekanan Yohanes bukanlah pada entitas “daging” melainkan pada “logos”. Jadi Injil Yohanes sebenarnya ingin menyampaikan bahwa sosok fisik Yesus atau (Yesus historis) hanyalah "media bantuan" bagi manusia untuk dapat memahami "logos" (Yesus Idea). Dari sini setidaknya dapat dipahami dua konsep dalam memaknai keilahian Yesus, yaitu Yesus Historis dan Yesus Idea. Yesus Historis hanyalah sosok manusia yang secara fisik terbatas ruang dan waktu, hanya media bantuan sementara. Sedangkan Yesus Idea adalah logos sejati (Logos Spermatikos) atau ”The Perfect Idea”, yang abadi, mutlak, universal, dan tetap adanya. The Perfect Idea itu tidak lain adalah KASIH (Agape).
Tidak mudah untuk memahami apologetik semacam ini. Kesulitan tersebut justru muncul akibat sakralisasi sosok artifisial Yesus historis yang telah mengurat akar dalam paradigma gereja dan umat kristen. Tidak heran bila banyak umat kristen memuji dan menyembah sosok Yesus Historis tetapi sama sekali tidak memiliki Idea Yesus (Kasih). Banyak orang kristen menyanyikan pujian: “Oh, Yesus Kaulah segalanya bagiku!”, tapi mereka sama sekali tidak sadar bahwa pujian "Yesus Segalanya" itu sedang mengacu pada sosok Yesus Idea, bukan Yesus Historis. Secara ekstrim, adalah lebih baik seseorang tidak menyembah sosok Yesus,tetapi memiliki nilai-nilai The Perfect Idea (Kasih), sebab mereka sesungguhnyalah inilah Penyembah yang Benar yang dimaksud oleh Yesus.
Yesus historis yang hidup di Palestina 2000 tahun lalu adalah sosok mistikus yang berhasil mencapai kesempurnaan logos. Sebagaimana juga sosok Gautama yang berhasil mencapai Buddha. Sosok Khrisna yang mencapai Avatar. Tetapi sosok Yesus historis, Gautama, maupun Khrisna tetap tidaklah kekal dan terbatas sebagai "persona". Sedangkan logos atau The Perfect Idea-lah yang abadi, yang selalu ada dalam batin setiap individu, namun seringkali tidak disadari karena gambar Allah yang rusak dalam diri manusia. Dengan demikian tujuan spiritualitas sejati adalah mencapai kesempurnaan logos dengan cara membangkitkan The Perfect Idea (Yesus Idea) dalam diri setiap individu, sebagaimana yang telah diteladankan oleh Yesus (Historis). Dengan inilah manusia akan kembali pada kodrat ilahinya sebagai gambar Allah yang sempurna. Inilah sesungguhnya rahasia yang sama dalam konsep Manunggaling Kawula Gusthi, Sufisme, Vedanta Advaita dan Taoisme.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar