oleh Syafa'atun Aisya
Ada dua beban sosial yang harus saya pikul setiap kali saya (harus) pulang. Pertama berkait dengan tampilan fisik saya yang bagi kaum fundamentalis akan menggolongkan saya sebagai orang yang tidak dirahmati dan jauh dari syurga (bahkan mencium baunya pun tidak). Kedua, apalagi kalau bukan berkenaan dengan status saya yang tak juga beralih ke pasangan ganda campuran.
Dengan dua beban itu, saya tau saya telah mengecewakan ibu saya. Mematahkan semua doa dan harapannya. Meski demi Tuhan dan para rasul-Nya, I never want to break her lovely heart (saya malah ingin betul membahagiakan hatinya. Termasuk memberangkatkan-nya pergi haji dengan uang saya bila mungkin :)). Sementara hubungan kami terasa kian dingin.
Omong-omong soal ibu, saya punya dua ibu. Ibu kedua sama sekali tak ada hubungan perkawinan. Ia guru agama yang kemudian menjadi ibu angkat saya. Kedua ibu saya ini sama-sama shock dengan evolusi yang terjadi pada tampilan fisik saya.
Sebagai pendakwah, Ibu kedua saya malah sempat “menggebuk” saya dengan dalil-dalil untuk menyadarkan saya dan menghakimi saya telah bekerja dengan orang-orang kafir :(. Ia juga sempat men-test saya dengan meng-imla dalam bahasa Arab. Sebuah ujian yang (masih) bisa saya lewati dengan mudah. Saya mempelajari tata bahasa ini sedini saya belajar huruf latin. Meski kini kefasihannya makin tergerus dengan kebiasaan saya untuk lebih ber cas cis cus dalam bahasa Inggris.
***
Saya memang lahir dari keluarga muslim lumayan taat. Sebagian saudara saya lulusan pesantren. Saya sendiri semasa kecil disekolahkan dua lembaga sekaligus. Sekolah umum negeri dan agama. Saya juga merupakan alumni perguruan tinggi agama yang sayangnya kini banyak dicap telah menetaskan alumni-alumni murtad berfikiran liberal (haha.. awalnya saya bersikap santai saja dan masih bisa tertawa dengan stigma bodoh ini. Tapi lama-lama merasa ngenes juga saat tau keluarga saya pun termakan stigma itu. Islam liberal, IAIN, Ulil, Cak Nur, menjadi kosakata yang berbanding lurus dengan kata sesat. Padahal sudah lama sekali saya tidak lagi intens dengan isu-isu itu :p)
Tapi kalau diingat-ingat, rasa-rasanya dulu orang tua saya tak begitu ketat dengan aturan main yang begini atau begitu. Saya boleh pencilaan ikut pencak silat, naik gunung dan bergabung dengan klub pecinta alam yang sepi perempuan, atau pergi kemana-mana tanpa harus menutup kepala (mungkin ingatan saya agak melenceng untuk hal yang terakhir ini).
Lalu semakin lama suasana terasa berubah. Sekarang semua saudara perempuan saya berjilbab. Dan saya seperti seekor anak bebek berbulu hitam dalam keluarga bebek berbulu putih. (eniwei, kenapa analoginya bebek? Karena saya suka sekali bebek goreng hehe..)
Ya, saya dulu pernah juga berjilbab. Pertama karena itu merupakan bagian dari seragam sekolah yang harus saya pakai. Kedua, seperti jawaban saya pada sebuah pertanyaan yang pernah diajukan Joel Rocamora pada dialog santai di kantor saya di suatu sore yang gerah. Saat itu hanya saya yang berpenutup kepala. “Untuk menyenangkan hati ibu saya. Membuatnya tentram,” jawab saya secara iseng. Sebuah jawaban yang langsung memancing reaksi geli teman-teman saya.
***
Saya mulai menanggalkannya dengan alasan kepraktisan belaka (“terbang bersama angin,” sebagaimana jawaban saya terhadap pertanyaan yang muncul). Saya banyak bepergian. Sebuah aktivitas yang begitu mencandu saya (saya bisa mengalami sakaw bila lama tak terbang :)). Dan kesimpelan berbusana benar-benar membantu mengurangi beban bagasi saya.
Selain saya juga sempat mengalami masalah yang cukup serius dengan rambut saya yang dengan mudahnya ambrol karena saya kira tak mendapat ruang yang cukup untuk bernafas. (Beberapa alasan sekunder lain bisa saya tambahkan di sini. Semuanya akan berujung pada rasa bosan yang kerap menyerang dan saya merasa perlu untuk melakukan perubahan dengan salah satunya gaya berpakaian saya :))
Sayangnya, kenyelenehan saya ini kok ndilalah tak bisa ditanggapi dengan santai orang-orang terdekat saya. Keterkejutan mereka ditunjukkan dengan respon yang juga membuat saya tak kalah terkejut. Menganggap saya telah masuk golongan sesat dan perlu lagi dididik habis-habisan. Terutama soal aurat.
Ah, repot sekali membahas soal yang satu ini. Sejak ditahbiskan bahwa seluruh anggota tubuh perempuan (kecuali muka dan telapan tangan) adalah aurat maka susah sekali bernegosiasi untuk sekadar tampil dengan kaus berlengan pendek atau celana yang tak sampai mata kaki. Padahal saya merasa gaya berpakaian saya masih sangat jauh dari ukuran yang bisa dikategorikan tampil sexy ala Beyonce atau Sarah Azhari :p
***
Saya sering tak habis pikir. Apa yang membuat keberagamaan keluarga saya makin mengeras ya? Mengapa tidak lagi mampu bersikap santai? Apa karena dirasa kiamat semakin dekat? (sebagaimana ramalan tentang 2012 dan tanda-tanda akhir zaman yang bagi sebagian orang makin menunjukkan eksistensinya? :))
Semua itu saya kira juga berbanding lurus dengan penguatan Islam simbolis yang juga makin menguat di negeri ini. Tayangan-tayangan dengan kemasan agama --entah benar entah menjerumuskan—yang banyak ditemui di setiap saluran televisi. Termasuk promo model busama muslimah terbaru yang dikenakan artis-artis sinetron masa kini.
Kalau sedang jengkel atau muak dengan bombardir tuntutan penguatan Islam simbolis yang kadang tak masuk akal (seperti layak tidaknya seorang menjadi pemimpin dinilai dari busana muslimah yang dikenakan para pendampingnya), saya sampai sering berfikir, apa perlu lahir seorang Attaturk di negeri ini ya? (meski saya juga tidak suka dengan system pemerintahan yang kemudian lahir di negeri yang menurut saya chauvinistic itu).
Saya juga sering menduga kalau saya laki-laki pastilah tuntutan yang saya emban tak akan seberat menjadi perempuan. Apalagi dengan embel-embel tambahan “untuk tak lupa dengan kodratnya” :p.
Kalau sudah begini bagaimana bisa beragama dengan santai? Padahal seperti pepatah Inggris lama (yang tak bisa diulang) bilang “God creates us with laugh” :). Bagaimana menjelaskan bahwa urusan agama sesungguhnya sangatlah personal (saya kerap menggambarkan Tuhan sebagai sosok laki-laki bersayap putih yang siap memeluk saya saat saya tengah merasa “jatuh”)?
Apalagi, saya bukan lagi gadis kecil yang perlu ditegur dengan susah hati tiap kali saya berlaku yang dianggap tak patut. Usia saya sudah masuk dalam kategori sangat bisa dan boleh masuk bioskop yang memutar film dewasa. Teman-teman sebaya saya pun sudah beranak pinak tak karuan. Beberapa diantaranya bahkan telah kawin, bercerai, kawin lagi, cerai lagi… (he.. kalo ini mah lebay kali ye.. :p)
Dan suatu saat ketika saya katakan jangan terlalu memikirkan saya, saya tau apa yang saya lakukan dan bertanggung jawab atas perbuatan saya termasuk segala dosa saya yang akan saya tanggung sendiri, ibu saya merespon cepat: “tapi kamu kan belum punya muhrim. Tanggung jawab kamu sebagai anak masih ada pada orang tua!”
Sebuah respon yang (sumpah mati) membuat saya benar-benar speechless.. :)))
Ada dua beban sosial yang harus saya pikul setiap kali saya (harus) pulang. Pertama berkait dengan tampilan fisik saya yang bagi kaum fundamentalis akan menggolongkan saya sebagai orang yang tidak dirahmati dan jauh dari syurga (bahkan mencium baunya pun tidak). Kedua, apalagi kalau bukan berkenaan dengan status saya yang tak juga beralih ke pasangan ganda campuran.
Dengan dua beban itu, saya tau saya telah mengecewakan ibu saya. Mematahkan semua doa dan harapannya. Meski demi Tuhan dan para rasul-Nya, I never want to break her lovely heart (saya malah ingin betul membahagiakan hatinya. Termasuk memberangkatkan-nya pergi haji dengan uang saya bila mungkin :)). Sementara hubungan kami terasa kian dingin.
Omong-omong soal ibu, saya punya dua ibu. Ibu kedua sama sekali tak ada hubungan perkawinan. Ia guru agama yang kemudian menjadi ibu angkat saya. Kedua ibu saya ini sama-sama shock dengan evolusi yang terjadi pada tampilan fisik saya.
Sebagai pendakwah, Ibu kedua saya malah sempat “menggebuk” saya dengan dalil-dalil untuk menyadarkan saya dan menghakimi saya telah bekerja dengan orang-orang kafir :(. Ia juga sempat men-test saya dengan meng-imla dalam bahasa Arab. Sebuah ujian yang (masih) bisa saya lewati dengan mudah. Saya mempelajari tata bahasa ini sedini saya belajar huruf latin. Meski kini kefasihannya makin tergerus dengan kebiasaan saya untuk lebih ber cas cis cus dalam bahasa Inggris.
***
Saya memang lahir dari keluarga muslim lumayan taat. Sebagian saudara saya lulusan pesantren. Saya sendiri semasa kecil disekolahkan dua lembaga sekaligus. Sekolah umum negeri dan agama. Saya juga merupakan alumni perguruan tinggi agama yang sayangnya kini banyak dicap telah menetaskan alumni-alumni murtad berfikiran liberal (haha.. awalnya saya bersikap santai saja dan masih bisa tertawa dengan stigma bodoh ini. Tapi lama-lama merasa ngenes juga saat tau keluarga saya pun termakan stigma itu. Islam liberal, IAIN, Ulil, Cak Nur, menjadi kosakata yang berbanding lurus dengan kata sesat. Padahal sudah lama sekali saya tidak lagi intens dengan isu-isu itu :p)
Tapi kalau diingat-ingat, rasa-rasanya dulu orang tua saya tak begitu ketat dengan aturan main yang begini atau begitu. Saya boleh pencilaan ikut pencak silat, naik gunung dan bergabung dengan klub pecinta alam yang sepi perempuan, atau pergi kemana-mana tanpa harus menutup kepala (mungkin ingatan saya agak melenceng untuk hal yang terakhir ini).
Lalu semakin lama suasana terasa berubah. Sekarang semua saudara perempuan saya berjilbab. Dan saya seperti seekor anak bebek berbulu hitam dalam keluarga bebek berbulu putih. (eniwei, kenapa analoginya bebek? Karena saya suka sekali bebek goreng hehe..)
Ya, saya dulu pernah juga berjilbab. Pertama karena itu merupakan bagian dari seragam sekolah yang harus saya pakai. Kedua, seperti jawaban saya pada sebuah pertanyaan yang pernah diajukan Joel Rocamora pada dialog santai di kantor saya di suatu sore yang gerah. Saat itu hanya saya yang berpenutup kepala. “Untuk menyenangkan hati ibu saya. Membuatnya tentram,” jawab saya secara iseng. Sebuah jawaban yang langsung memancing reaksi geli teman-teman saya.
***
Saya mulai menanggalkannya dengan alasan kepraktisan belaka (“terbang bersama angin,” sebagaimana jawaban saya terhadap pertanyaan yang muncul). Saya banyak bepergian. Sebuah aktivitas yang begitu mencandu saya (saya bisa mengalami sakaw bila lama tak terbang :)). Dan kesimpelan berbusana benar-benar membantu mengurangi beban bagasi saya.
Selain saya juga sempat mengalami masalah yang cukup serius dengan rambut saya yang dengan mudahnya ambrol karena saya kira tak mendapat ruang yang cukup untuk bernafas. (Beberapa alasan sekunder lain bisa saya tambahkan di sini. Semuanya akan berujung pada rasa bosan yang kerap menyerang dan saya merasa perlu untuk melakukan perubahan dengan salah satunya gaya berpakaian saya :))
Sayangnya, kenyelenehan saya ini kok ndilalah tak bisa ditanggapi dengan santai orang-orang terdekat saya. Keterkejutan mereka ditunjukkan dengan respon yang juga membuat saya tak kalah terkejut. Menganggap saya telah masuk golongan sesat dan perlu lagi dididik habis-habisan. Terutama soal aurat.
Ah, repot sekali membahas soal yang satu ini. Sejak ditahbiskan bahwa seluruh anggota tubuh perempuan (kecuali muka dan telapan tangan) adalah aurat maka susah sekali bernegosiasi untuk sekadar tampil dengan kaus berlengan pendek atau celana yang tak sampai mata kaki. Padahal saya merasa gaya berpakaian saya masih sangat jauh dari ukuran yang bisa dikategorikan tampil sexy ala Beyonce atau Sarah Azhari :p
***
Saya sering tak habis pikir. Apa yang membuat keberagamaan keluarga saya makin mengeras ya? Mengapa tidak lagi mampu bersikap santai? Apa karena dirasa kiamat semakin dekat? (sebagaimana ramalan tentang 2012 dan tanda-tanda akhir zaman yang bagi sebagian orang makin menunjukkan eksistensinya? :))
Semua itu saya kira juga berbanding lurus dengan penguatan Islam simbolis yang juga makin menguat di negeri ini. Tayangan-tayangan dengan kemasan agama --entah benar entah menjerumuskan—yang banyak ditemui di setiap saluran televisi. Termasuk promo model busama muslimah terbaru yang dikenakan artis-artis sinetron masa kini.
Kalau sedang jengkel atau muak dengan bombardir tuntutan penguatan Islam simbolis yang kadang tak masuk akal (seperti layak tidaknya seorang menjadi pemimpin dinilai dari busana muslimah yang dikenakan para pendampingnya), saya sampai sering berfikir, apa perlu lahir seorang Attaturk di negeri ini ya? (meski saya juga tidak suka dengan system pemerintahan yang kemudian lahir di negeri yang menurut saya chauvinistic itu).
Saya juga sering menduga kalau saya laki-laki pastilah tuntutan yang saya emban tak akan seberat menjadi perempuan. Apalagi dengan embel-embel tambahan “untuk tak lupa dengan kodratnya” :p.
Kalau sudah begini bagaimana bisa beragama dengan santai? Padahal seperti pepatah Inggris lama (yang tak bisa diulang) bilang “God creates us with laugh” :). Bagaimana menjelaskan bahwa urusan agama sesungguhnya sangatlah personal (saya kerap menggambarkan Tuhan sebagai sosok laki-laki bersayap putih yang siap memeluk saya saat saya tengah merasa “jatuh”)?
Apalagi, saya bukan lagi gadis kecil yang perlu ditegur dengan susah hati tiap kali saya berlaku yang dianggap tak patut. Usia saya sudah masuk dalam kategori sangat bisa dan boleh masuk bioskop yang memutar film dewasa. Teman-teman sebaya saya pun sudah beranak pinak tak karuan. Beberapa diantaranya bahkan telah kawin, bercerai, kawin lagi, cerai lagi… (he.. kalo ini mah lebay kali ye.. :p)
Dan suatu saat ketika saya katakan jangan terlalu memikirkan saya, saya tau apa yang saya lakukan dan bertanggung jawab atas perbuatan saya termasuk segala dosa saya yang akan saya tanggung sendiri, ibu saya merespon cepat: “tapi kamu kan belum punya muhrim. Tanggung jawab kamu sebagai anak masih ada pada orang tua!”
Sebuah respon yang (sumpah mati) membuat saya benar-benar speechless.. :)))
Tidak ada komentar:
Posting Komentar