Cari Blog Ini

Rabu, 23 November 2011

BERBAGI DUKA DENGAN MEREKA YANG TERTOLAK

“Dulu di depan nama saya ada nama Muhammad, tapi itu dulu, sekarang sudah tidak.” tukas pemuda sederhana itu.

Pemuda sederhana itu adalah satu dari beberapa mantan santri Ahmadiyah yang pada hari itu tanpa sengaja dapat saya temui. Saya benar-benar merasa beruntung dapat berbincang dengan sahabat tersebut, walau hanya sebentar, tapi setidaknya saya dapat mengenal lebih dekat kaum Ahmadiyah di negeri ini. Kami berkenalan dan berbincang akrab sebagai dua orang sahabat. Dia sangat ramah dan sopan, jauh dari kesan angkuh, apalagi membeda-bedakan orang dalam bergaul.

”Lho, kenapa kok tidak pakai nama itu lagi?” saya bertanya.

”Ya, saya sekarang sudah pindah agama, bukan Ahmadiyah lagi. Kami kan sudah dilarang di negeri ini. Jadi Ahmadiyah harus dibubarkan. Penganutnya diharuskan memilih satu dari lima agama yang diakui di negara kita.”

”Lalu kenapa anda tidak masuk Islam saja?”

”Tidak, Mas! Saya rasa lebih baik tidak.” sahabat itu tampak ingin melanjutkan jawabannya, tapi seolah ada sesuatu yang menahannya berbicara.

”Sebenarnya siapa yang memaksa anda untuk meninggalkan Ahmadiyah?” saya meneruskan wawancara dadakan saya dengan sahabat tersebut.

”Ya, pemerintah, Mas. Kami ini kan sudah dianggap sesat dan terlarang. KTP dan KK saya beserta keluarga saya sudah ditarik. Jadi kalau saya tidak meninggalkan Ahmadiyah, maka saya tidak punya identitas, tidak bisa kerja, tidak bisa apa-apa.” demikian jawab pemuda itu dengan suara datar. Tatapan matanya kosong, seolah menggambarkan tumbangnya harapannya sebagai masyarakat yang berhak mendapatkan keadilan, sebagai insan yang berhak menentukan kehidupan beragamanya secara bebas.

”Lho, bukannya negara tidak berhak untuk mencampuri kehidupan beragama seseorang?” nada suara saya agak meninggi.

”Ya, kenyataannya mereka kan selalu menuruti kemauan kelompok tertentu itu.” jawab sahabat tersebut.

”Apakah anda merasa bahwa anda telah dirampok oleh negara anda sendiri?” saya mencoba menyimpulkan apa yang dialami sahabat Ahmadiyah tersebut.

”Ya, begitulah.” ia mengangguk lemah.

Saya terdiam. Sejenak saya mulai berpikir siapa kelompok tertentu itu. Apakah mereka yang dimaksud adalah sekelompok radikalis di video yang pernah saya lihat, sedang membantai sebuah komunitas Ahmadiyah di suatu daerah. Ataukah kelompok tertentu ini sebenarnya adalah seluruh umat dari aliran besar agama tertentu, mengingat saya pernah melihat di televisi beberapa pemimpin tertinggi mereka menyatakan agar aliran Ahmadiyah dibubarkan.

Saya juga pernah mendengar dari media masa yang mengabarkan bahwa sebuah kelompok radikalis berhasil meng-Islam-kan kembali beberapa orang Ahmadiyah. Mereka menyebutnya dengan istilah bertobat dan kembali ke jalan yang benar. Tapi benarkah mereka dapat disebut ”bertobat”? Orang yang tunduk di bawah ancaman dan tekanan tentu tidak pas kalau disebut ”bertobat”, tapi yang lebih tepat adalah disebut ”terpaksa”. Tidak ada pilihan lain, mau bagaimana lagi, daripada ”benjut” lebih baik cari aman.

Bahkan Kementrian Agama dikabarkan juga ikut-ikut ”mempertobatkan” kaum Ahmadiyah di beberapa daerah. Sungguh aneh! Sejak kapan negara memiliki otoritas untuk men-cap suatu aliran itu sesat atau tidak sesat? Dan apakah negara ini mulai meng-anak emas-kan agama tertentu, sedangkan agama atau aliran lain menjadi warga kelas dua? Sungguh menyakitkan ketika pemerintah mulai bersikap lembek dan banci, mau saja dikangkangi oleh oknum agama tertentu untuk menindas kelompok agama lain. Inikah wajah demokrasi di negeri kita? Saya benar-benar tak habis pikir dengan semua kekonyolan ini.

Saya pun teringat pada mendiang Gus Dur. Andai saja beliau masih hidup, tentu beliau akan berdiri di garis paling depan menentang penindasan terhadap kaum Ahmadiyah dan kaum-kaum minoritas yang lain. Di mata Gus Dur, kehidupan beragama adalah hak asasi setiap insan yang tidak boleh dirampas oleh orang lain, kelompok tertentu, apalagi oleh negara.

”Saya sedang mengurus kepindahan agama saya dari Ahmadiyah ke agama baru yang diakui secara resmi di Indonesia. Saya berharap dengan ini saya akan mendapatkan kembali status kewarganegaraan saya dan saya dapat hidup dengan normal” ucap sahabat itu mengakhiri pembicaraan kami yang singkat.

”Tidak masalah, Mas! Hubungan anda dengan Tuhan tidak akan dapat dipasung oleh agama. Semuanya kembali pada pribadi kita masing-masing. Mudah-mudahan pada agama baru anda ini, anda semakin mendapat hidayah dari Allah SWT sehingga anda menjadi insan yang kamil. Insya Allah!”

1 komentar:

  1. yah..susah maunya bikin negara di atas negara..yang minoritas tetap jadi sapi perahan,,seperti kasus Hindu Budha zaman Soekarno thn 1962, diganti lagi era soeharto yang meng anak tirikan Hindu. Sangat di sayangkan negeri ini hanyalah negeri pengecut seperti kata Gus Dur.

    BalasHapus