Oleh: Lintang Wetan
Surti dan Tejo adalah dua remaja
yang sedang hangat-hangatnya berpacaran. Setiap hari mereka selalu bertemu,
kemana-mana selalu pergi berdua, serasa dunia ini hanya milik mereka berdua
saja.
Melihat hal itu, Sang Romo
berpesan pada Surti dan Tejo. "Kalian boleh pergi kemana-mana berdua,
berpacaranlah sepuas-puasnya, tapi ingat satu hal jangan ada yang meremas-remas
dua buah kuldhi itu. Nanti kamu jadi tahu rasanya dan akibatnya bisa buruk. Ingat
itu baik-baik!"
Surti dan Tejo mengangguk tanda
setuju dan kehidupan dua sejoli itu pun berjalan kembali seperti biasa.
Roda-roda asmara mereka terus
bergulir. Sesekali pesan dari Romo selalu teringat dalam sanubari, namun apalah
daya pesan itu dalam gelegak asmara
dua insan yang tengah mabuk kepayang.
Suatu ketika Sang Romo sedang tidak berada di rumah. Hanya ada Surti dan
Tejo yang sedang duduk berduaan di sofa ruang tamu yang empuk. Mereka bercanda
dan terus saja bercanda. Hingga tanpa sengaja tangan Tejo menyenggol salah satu
buah kuldhi-nya Surti.
“Auw … !” teriak Surti kegelian dan langsung mendekap dua buah kuldhi-nya. Ada
perasaan aneh yang berdesir-desir. Serasa sentuhan Tejo tadi membuat Surti
sejenak melayang jauh ke awan.
“Maaf, Surti, aku nggak sengaja!”
tukas Tejo.
“Hmm … nggak apa-apa.” Surti menimpali sambil tersipu.
“Ngomong-ngomong, rasanya gimana sih Sur?” tanya Tejo ingin tahu.
Surti hanya diam, dalam hatinya campur aduk.
Tejo pun dengan naluri laki-lakinya semakin ingin tahu dan bertanya lebih jauh.
”Enak ya Sur? ......... Hmmm ... apa boleh kusenggol lagi?”
”Enak sih, tapi jangan Mas. Kemarin kan Romo sudah bilang kalau dua buah
kuldhi-ku ini ndak boleh disentuh, apalagi diremas, nanti kita jadi tahu
rasanya.” demikian jawab Surti.
”Ah, buktinya tadi kamu bilang rasanya enak. Berarti Romo itu bohong.
Paling-paling Romo takut kita bisa jadi seperti dia, bisa merasakan enaknya buah
kuldhi itu. Masak cuma Romo saja yang boleh merasakan enak, kita juga boleh
dong, Sur!” kata Tejo mulai nakal dan mencari-cari alasan untuk akal bulusnya.
”Hmmm ... kalau dipikir-pikir betul juga sih!” gumam Surti perlahan.
Sesegera itu pula tangan Tejo mulai menyentuh dan meremas-remas dua buah kuldhi
milik Surti. Surti pun tak lagi bisa menolak selain hanya membiarkan kenikmatan
itu menderanya. Benar sekali bahwa buah kuldhi memang enak rasanya. Enaaaaak
sekali. Deru nafas memburu, segala rasa tertumpah, Surti dan Tejo menari-nari
dalam ketelanjangan cinta remaja. Jam dinding pun terus berdetak seiring dua
sejoli ini tenggelam terlalu dalam di samudera asmara penuh nafsu liar. Biarlah
yang terjadi ... terjadilah!
Seminggu sudah sejak kejadian itu Surti mulai mual-mual. Setelah diperiksa
dengan tester, barulah ketahuan bahwa Surti telah hamil. Surti panik dan segera
memberitahukan hal itu pada Tejo, sang kekasih. Tejo pun jadi ikut bingung.
Akhirnya mereka berdua, dalam kepolosannya, bersepakat menyembunyikan kehamilan
itu dari Sang Romo.
Tapi waktu terus bergulir dan perut Surti yang terus membuncit tak lagi
mampu disembunyikan. Tak ayal lagi akhirnya Sang Romo pun tahu tentang kehamilan Surti
dan langsung didera amarah besar. Ia memanggil Tejo untuk datang ke rumah
Surti. Dua sejoli yang malang itu pun harus menghadapi sidang pengadilan Sang
Romo.
”Tejo, bagaimana kok sampai bisa terjadi hal itu? Kenapa kamu meremas-remas
dua buah kuldhi Surti?” tanya Sang Romo dalam murkanya.
”Anu... anu .... Romo, soalnya Surti itu sih menggoda aku. Waktu buah
kuldhi-nya tanpa sengaja kusenggol, dia bilang enak rasanya. Ya .. akhirnya
kusengol lagi, senggol lagi, lalu kuremas-remas, sampai terjadilah yang harus
terjadi” jawab Tejo berkilah menyelamatkan diri dari kesalahan.
”Surti, ..... oaalah nduk, nduk, Romo kan sudah bilang kalau kamu nggak
boleh membiarkan dua buah kuldhi itu diremas-remas, kamu nanti jadi tahu
rasanya. Kalau sudah begitu pasti kalian akan jatuh ke dalam perbuatan yang tak
seharusnya kalian lakukan. Kenapa toh nduk, kok kamu malah berani-berani menggoda
Tejo?” tanya Sang Romo pada Surti.
”Ehmmm ... ehmmmm ....”. Surti bingung mencari-cari alasan. Pandangan matanya berputar ke sana-sini. Sampai akhirnya matanya tertambat pada
lukisan di dinding rumah. Itu adalah lukisan hutan dan ada seekor ular yang
bertengger di atas dahan sebuah pohon. Dalam kepolosannya, Surti pun mendapat
ide alasan yang menurutnya bagus.
”Romo, saya tadi digoda oleh ular di lukisan itu. Tiba-tiba ularnya bisa
bicara, dan katanya kalau dua buah kuldhi-ku ini diremas, rasanya pasti enak.
Aku nanti bisa tahu rasanya seperti halnya Romo dulu juga pernah tahu rasanya.”
Surti nyerocos dengan alasan yang tidak logis.
Sang Romo yang adalah sosok bijaksana tak sampai hati marah-marah pada
kedua bocah remaja itu. Akhirnya kekesalannya dia tumpahkan pada lukisan ular
di dinding. Sang Romo kemudian berujar lantang.
”Hai ular, terkutuklah kamu, kamu akan jadi binatang yang melata tanpa kaki
dan makan debu tanah.”
Lalu Sang Romo melanjutkan, katanya:
”Hai Surti, kamu sudah hamil, jadi kamu harus menikah dengan Tejo. Kamu
nanti akan merasakan sakitnya bersalin dan kamu tidak akan bisa senang-senang lagi
seperti dulu. Kamu harus merawat anakmu dan mengurus pekerjaan rumah tanggamu. Sedangkan
kamu Tejo, kamu akan menjadi suami dari Surti. Kamu juga tak akan dapat
bersenang-senang lagi seperti dulu. Kamu sekarang harus bekerja keras membanting
tulang untuk menafkahi anak istrimu. Hidup kalian berdua tak akan sama lagi.
Kalian akan merasakan kerasnya hidup yang sesungguhnya.”
Sang Romo yang bijaksana membekali mereka dengan uang secukupnya untuk
kontrak rumah dan biaya hidup mereka untuk beberapa waktu. Selanjutnya Surti
dan Tejo harus mengusahakan sendiri penghidupan mereka di tengah dunia yang
keras. Itulah kisah dua sejoli Surti dan Tejo.